sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim, melupakan kompetensi guru

Nadiem Makarim mencanangkan program Merdeka Belajar, namun lupa akar permasalahan pendidikan.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Selasa, 24 Des 2019 12:00 WIB
Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim, melupakan kompetensi guru

Pada 11 Desember 2019, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim meluncurkan empat pokok kebijakan pendidikan, dengan nama program Merdeka Belajar. Program itu meliputi ujian sekolah berstandar nasional (USBN), ujian nasional (UN), rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan peraturan penerimaan peserta didik baru (PPDB) zonasi.

Pada 2020, USBN akan diterapkan dengan ujian yang diadakan hanya oleh sekolah. Ujian itu dilakukan untuk menilai kompetensi atau penilaian siswa dalam bentuk tes tertulis atau penilaian lainnya yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan.

Terkait UN, pada 2020 adalah yang terakhir. Selanjutnya, pada 2021 diubah dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter, yang terdiri dari kemampuan nalar bahasa (literasi), matematika (numerasi), dan pendidikan karakter.

Sementara untuk penyusunan RPP, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan membebaskan guru untuk memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP. Ada tiga komponen inti RPP, yakni tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen.

Selanjutnya, mengenai PPDB, Kemendikbud tetap menggunakan sistem zonasi, dengan kebijakan yang lebih fleksibel dan mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah.

“Empat program pokok kebijakan pendidikan tersebut akan menjadi arah pembelajaran ke depan, yang fokus pada arahan bapak presiden dan wakil presiden dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia,” kata Nadiem di Jakarta, seperti dikutip dari situs web kemendikbud.go.id, Rabu (11/12).

Dari empat program itu, pelaksanaan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter sebagai pengganti UN, serta RPP menjadi sorotan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim (tengah) menyapa para guru saat menghadiri puncak peringatan HUT ke-74 PGRI di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (30/11/2019). Foto Antara/ Fakhri Hermansyah.

Sponsored

Sama saja

Kepala sekolah SMA Negeri 84, Kalideres, Jakarta Barat, Romlah, tak bisa beranjak dari ruangannya. Di meja kerjanya, tampak setumpuk berkas. Sesekali, beberapa guru datang ke ruangannya, berkonsultasi tentang hasil belajar siswa. Beberapa orang tua murid pun menemui Romlah.

Siang itu, Romlah tengah sibuk membagikan rapor kepada orang tua murid. Ia pun ikut berkomentar tentang gagasan Nadiem, terutama sistem asesmen pengganti UN dan RPP.

“Itu akan mengurangi beban guru. RPP yang memuat komponen yang diprogramkan Pak Nadiem sudah cukup baik,” kata Romlah saat ditemui reporter Alinea.id di SMA Negeri 84, Jakarta, Jumat (20/12).

Romlah pun menyambut baik gagasan Mendikbud tersebut. Menurutnya, di dalam kurikulum 2013 juga sudah menuntut guru untuk kreatif dalam membuat RPP. Perempuan lulusan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia (UI) ini pun mengatakan, pendidikan di abad ke-21 memang harus memenuhi empat unsur.

Critical thingking, creative, collaborative, dan communication,” ujarnya.

Soal UN yang akan diubah menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter pada 2021, Romlah pun tak keberatan. Keduanya, kata dia, sama-sama model pemetaan hasil belajar siswa.

"Tidak bertolak belakang, menurut saya," tuturnya.

Menurutnya, asesmen kompetensi minimum, yang menitikberatkan pada literasi dan numerasi, bukan perubahan signifikan. Sama seperti RPP, Romlah mengatakan, hal itu sudah diterapkan pada kurikulum 2013.

Praktiknya, guru dituntut membuat murid berpikir kreatif, punya kemampuan berkomunikasi, dan kolaboratif.

"Guru pun dituntut bisa mendesain program pembelajaran atau RPP yang mengarah kepada penalaran tingkat tinggi. Jadi, menurut saya, sudah sejalan," ucapnya.

Bukan hanya itu. Romlah menganggap, survei karakter yang dijadikan ukuran nilai dan evaluasi pembelajaran, juga cukup bagus untuk menilai kualitas peserta didik. Melalui survei, kata Romlah, dapat membuktikan sejauh mana nilai kognitif dan afektif siswa.

Sementara UN, kata dia, hanya menyangkut kognitif pengetahuan. Padahal, syarat siswa dinyatakan lulus di satuan pendidikan tidak hanya nilai kognitif, tetapi juga sikap.

"Dengan survei, bisa dilihat apakah peserta didik kita berkarakter baik atau tidak," ujarnya.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim (kedua kanan) berbincang dengan Menko PMK Muhadjir Effendy (kedua kiri) saat menghadiri upacara peringatan Hari Guru Nasional 2019 di halaman Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Senayan, Jakarta, Senin (25/11/2019). Foto Antara/Nova Wahyudi.

Namun, Romlah mengaku belum tahu pasti praktik asesmen kompetensi minimum yang digagas Nadiem.

"Sejauh ini baru wacana dan masih dalam tataran rencana. Sosialiasi ke bawah belum dilakukan," tuturnya.

Demi lancarnya program Kemendikbud terkait RPP, Romlah menuturkan, guru di sekolah yang dipimpinnya harus siap menyusunnya secara mandiri. Ia menyebut, selama ini juga sudah banyak pelatihan yang diberikan Suku Dinas Pendidikan Wilayah II Jakarta Barat terhadap guru untuk menyusun RPP sesuai standar.

Meski begitu, ia menilai, berhasil atau gagalnya program itu sangat tergantung dari masing-masing guru.

“Bisa tidak dia buat RPP yang bagus dan menjadi problem solving?" ujar Romlah.

Romlah mungkin menilai baik program Nadiem, tetapi hal itu tak dirasakan guru lainnya. Kecemasan datang dari guru honorer di SD Negeri Semanan 04 Pagi, Jakarta Barat, Dirga Yoga Tama.

Ia pesimis dengan program RPP yang dicanangkan Nadiem. Sejauh pengamatannya, tak ada guru yang benar-benar serius dalam menyusun RPP.

“Semua guru itu copy paste dalam menyusun RPP. Saya yakin, enggak ada guru yang benar-benar kreatif menyusun RPP, kecuali mahasiswa magang,” kata dia saat ditemui di SD Negeri Semanan 04 Pagi, Jakarta Barat, Jumat (20/12).

Ia mengatakan, omong kosong jika ada guru yang mengaku secara mandiri menyusun RPP. Sebab, menurutnya, kurikulum 2013 tak memungkinkan seorang guru kreatif dalam menyusunnya.

Dirga membeberkan, kurikulum 2013 yang saat ini berlaku, sangat rumit. Satu tema ada banyak subtema. Dengan begitu, seorang guru membutuhkan waktu untuk menyusun RPP.

“Sedangkan guru juga dibebankan membuat silabus, administrasi, dan mengajar. Jadi, jalan keluarnya bagaimana? Ya, copy paste," ujar Dirga.

Ia menilai, guru belum siap dibebaskan menyusun RPP secara mandiri, apalagi kreatif. Sebab, suku dinas pendidikan setempat jauh dari kata efektif dalam memberikan pelatihan.

Sementara itu, guru olahraga di SMA Negeri 84 Jakarta, Fajar Lukman Tambose—akrab disapa Bose—mencermati mekanisme UN yang akan diganti sistem asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.

Bose mengungkapkan, sistem itu belum mengakomodir hal yang berkaitan dengan kecerdasan psikomotorik.

“Literasi dan numerasi hanya fokus pada kognitif dan afektif,” kata Bose saat ditemui di SMA Negeri 84, Jakarta, Jumat (20/11).

Ia mengatakan, dalam proses belajar, tidak semua siswa menguasai materi pelajaran. Ada yang mahir secara praktik, seperti kesenian atau olahraga.

“Menurut saya, kurang fair bagi siswa yang punya bakat jadi atlet dan seniman,” ujar Bose.

Sejauh pengamatannya, siswa yang berbakat menjadi atlet, sangat lemah dalam hal teori. Sehingga, kurang pas bila hanya dinilai secara literasi dan numerasi.

Bose mengatakan, di sekolahnya, banyak siswa yang berbakat menjadi atlet dan seniman. Mereka, kata dia, cukup berhasil mengangkat nama baik sekolah.

“Dalam cabang voli, kami berhasil mempertahankan juara di DKI Jakarta selama beberapa tahun terakhir. Dari cabang atletik pun kami raja di Jakarta Barat,” ujarnya.

Tujuannya baik, tapi…

Sejumlah guru berswafoto usai mengikuti upacara dalam rangka peringatan Hari Guru Nasional yang di pimpin oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil di Lapangan Gasibu, Bandung, Jawa Barat, Senin (24/11/2019). Foto Antara/Raisan Al Farisi.

Ketika dikonfirmasi, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbud Supriano mengatakan, program Merdeka Belajar merupakan bentuk penyesuaian kebijakan untuk mengembalikan esensi dari asesmen yang semakin dilupakan.

"Konsepnya, mengembalikan kepada esensi undang-undang kita untuk memberikan kemerdekaan sekolah menginterpretasi kompetensi-kompetensi dasar kurikulum, menjadi penilaian mereka sendiri," ujarnya saat dihubungi, Kamis (19/12).

Asesmen kompetensi minimum dan survei karakter, menurut Supriano dimaksudkan agar setiap sekolah bisa menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan daerah masing-masing.

"Yang lebih cocok untuk murid-murid, daerah, dan kebutuhan pembelajaran mereka," katanya.

Supriano menilai, asesmen kompetensi minimum tidak sekaku UN. Dalam praktiknya, Supriano mengatakan, asesmen kompetensi minimum dan survei karakter bakal diterapkan kepada peserta didik yang duduk di kelas empat, delapan, dan 11.

Alasan asesmen kompetensi minimum dilakukan untuk tingkat kelas-kelas tadi adalah untuk memetakan kondisi pembelajaran, serta mengevaluasi proses pembelajaran.

“Dengan kata lain, agar bisa diperbaiki kalau ada hal yang belum tercapai,” tutur Supriano.

Menurutnya, survei karakter akan dijadikan cara guru mengukur karakter siswa. “Melihat implementasi karakternya yang Pancasilais dalam kehidupan sehari-hari, seperti sikap gotong royong, kepedulian, dan tidak melakukan sikap negatif, seperti kekerasan,” ujarnya.

Akan tetapi, Supriano enggan menjelaskan teknis survei tersebut. Ia hanya mengatakan, bakal menggunakan metode multidimensi dalam mengukur siswa.

Selain itu, ia enggan membeberkan secara rinci apa yang akan dijadikan acuan ke jenjang selanjutnya, jika UN dihapus. Ia hanya menjelaskan, rencana ini masih dalam tahap pematangan.

“Itu masih tahun 2021. Secara teknis, akan dilakukan survei pemetaan kepada para siswa tentang kondisi karakter,” ujar dia.

Soal rencana memberikan kebebasan penyusunan RPP kepada guru, Supriano mengatakan, hal itu bertujuan untuk memberi keleluasaan para pendidik dalam proses pembelajaran.

Ia menerangkan, saat ini guru masih terbebani masalah administrasi yang kaku. Imbasnya, guru kurang bisa mengeksplorasi proses pembelajaran.

"Dengan memberi kebebasan RPP kepada guru, siswa diharapkan akan lebih banyak berinteraksi secara aktif, dinamis, dan model pembelajaran tidak kaku," tuturnya.

Supriano yakin, para guru sudah siap menerapkan asesmen kompetensi minimum. Pemerintah, kata dia, juga akan terus meningkatkan kompetensi guru, serta memotivasi mereka menjadi guru penggerak di wilayah masing-masing.

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi menyambut baik rencana Mendikbud Nadiem, yang ingin mereformasi sistem pendidikan melalui program Merdeka Belajar.

"Bila ingin berubah ke literesi dan numerasi memang kebutuhan, tetapi untuk sampai ke sana, guru dan siswanya disiapkan," ujarnya saat dihubungi, Kamis (19/12).

Gagasan ini, menurut dia, membutuhkan pedoman yang matang. Jika diterapkan, ia mengatakan, sistem ini akan sangat tergantung pada kreativitas guru.

Unifah mengaku, sejauh ini guru belum memahani betul apa yang dimaksud asesmen kompetensi minimum. Menurut Unifah, perlu penjelasan yang rinci terkait hal itu.

"Harus ada guideline kepada guru, soal apa itu literasi dan numerasi. Pasalnya, guru yang bakal melaksanakan," ujarnya.

Sejumlah siswa menyalami guru mereka seusai mengikuti upacara di Sekolah Dasar Negeri 060813 Medan, Sumatera Utara, Senin (25/11/2019). Foto Antara/Septianda Perdana.

Lebih lanjut, ia mengatakan, hal itu penting dilakukan, agar tak ada “penyimpangan” antara pusat dan daerah dalam pelaksanaan. Di lapangan, Unifah melihat, sepanjang dilaksanakan UN, setiap daerah punya permasalahan yang beragam. Oleh karenanya, masing-masing daerah harus dilakukan perlakuan yang berbeda.

Perihal kebebasan guru membuat RPP, Unifah memandang, perlu ada pelatihan yang terus-menerus terhadap semua guru. Guru-guru di Indonesia, ucapnya, punya ketimpangan yang tajam secara kompetensi.

“Guru di Indonesia itu beda-beda, tidak seperti di negara lain. Indonesia itu disparitasnya tajam, satu daerah dengan daerah lain. Jadi, ketika ditanya kesiapan, ya kesiapan guru itu beragam,” ucapnya.

Ia menilai, guru bakal menjadi tumpuan utama dari suksesnya asesmen kompetensi minimum. Oleh karena itu, guru perlu ditingkatkan kompetensinya.

"Itu suatu yang harus, agar kebijakan ini nantinya tidak mandul," ujarnya.

Di sisi lain, anggota komisi X dari fraksi PAN Zainuddin Maliki berpandangan, konsep Merdeka Belajar yang dilontarkan Nadiem masih belum matang dan cenderung serampangan. Sebab, kata Zainuddin, Nadiem kurang sistematis dalam penyusunan program tersebut.

Ia melihat, ada skema yang tumpang tindih dalam program Merdeka Belajar. Nadiem, sebut Zainuddin, terlihat hanya fokus ke hilir, tanpa berpikir menyelesaikan yang ada di hulu.

"Nadiem itu masih lompat-lompat. Coba saja, USBN dulu yang dijelaskan dalam slide, kemudian UN, RPP, dan zonasi,” ujar dia saat ditemui di Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis (19/12).

“Zonasi itu mestinya dibicarakan awal, setelah itu RPP karena itu proses.”

Zainuddin melihat, Nadiem bukan berasal dari dunia pendidikan. Sehingga, cenderung tak tertata menyusun skema program.

Ia pun tak sepakat jika survei karakter dijadikan alat ukur kualitas peserta didik. Menurut dia, metode survei belum bisa menilai karakter siswa sesungguhnya.

Zainuddin menyarankan, sebaiknya siswa diobservasi secara mendalam untuk mengetahui sejauh apa kompetensinya. Di samping itu, ia menilai, guru di Indonesia pun masih belum punya kemampuan melakukan observasi secara mendalam.

"Guru belum dipersiapkan untuk evaluasi model observasi parsipatoris. Tapi bila survei, pasti jawabannya bagus-bagus. Sehingga tidak gambarkan individu," ujarnya.

Di sisi lain, tak mudah juga membebaskan dan menuntut guru untuk kreatif dalam menyusun RPP. Alasannya, kata dia, selama ini guru hanya fokus pada nilai.

“Guru dan masyarakat pendidikan kita, sudah dibangun oleh sebuah narasi agung, di mana pendidikan itu ngejar lulus UN," katanya.

Hal yang belum selesai

Pelajar memberikan ucapan selamat dengan memeluk gurunya seusai upacara peringatan hari guru nasional dan HUT Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di MTsN Model, Banda Aceh, Aceh, Senin (25/11/2019). Foto Antara/Irwansyah Putra.

Menanggapi program Nadiem, pengamat pendidikan Doni Koesoema mengatakan, memberi kebebasan kepada guru untuk menyusun RPP masih sangat riskan. Sebab, guru selama ini sangat bergantung pada petunjuk teknis dari pemerintah.

Doni melihat, kompetensi guru belum mampu membuat RPP secara mandiri. Maka, kebijakan tersebut belum menjamin kualitas belajar akan meningkat.

"Memang, di sisi lain mengurangi beban administrasi. Tapi masalahnya, kompetensi guru kita belum merata," ujarnya saat dihubungi, Kamis (19/12).

Sementara itu, pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Andreas Tambah mengatakan, ada tiga faktor yang membuat kompetensi guru di Indonesia rendah.

Pertama, masih banyak penyelenggara pendidikan guru yang kurang berkualitas dan tak serius meningkatkan kualitas.

"Banyak institut yang penyelenggaraannya numpang di sekolah atau ruko, dengan kualitas ala kadarnya, melahirkan guru-guru yang kompetensinya tidak memadai," ujar Andreas saat dihubungi, Kamis (19/12).

Kedua, Andreas melihat, guru-guru di daerah masih memainkan cara “politis” untuk bisa menjadi guru negeri. Hasilnya, banyak guru yang tidak kompeten menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Hal itu, kata Andreas, dilakukan guru honorer yang didekati kandidat saat pemilihan kepala daerah (pilkada). Mereka dijanjikan menjadi PNS, jika memilih kandidat tertentu.

"Pas menang, dampaknya guru-guru yang jadi PNS itu tidak melalui penyaringan yang baik," tutur dia.

Ketiga, masalah kesejahteraan. Menurut Andreas, guru tidak mungkin bisa kreatif menyusun RPP bila kesejahteraannya tidak diperbaiki.

Andreas membandingkan kesejahteraan guru di kota besar yang bergaji baik dan dapat tunjangan, dengan guru di daerah yang penghasilannya untuk hidup masih kurang.

“Dituntut untuk maksimal, tentu tidak mungkin bisa," ujarnya.

Jika masalah mendasar guru belum selesai, Andreas mengatakan, jangan berharap ada reformasi di sistem pendidikan.

"Artinya, mau diberi kebebasan apa pun kalau kompetensinya rendah, ya enggak akan bisa," ujar dia.

Direktur Pendidikan VOX Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji pun mengatakan, Nadiem sama sekali tidak menyinggung masalah kompetensi guru dalam gagasan Merdeka Belajar.

“Padahal, itu merupakan problem besarnya masalah pendidikan kita,” tutur Indra saat dihubungi, Kamis (19/12).

Di dalam program Merdeka Belajar, kata Indra, guru tak diperlakukan sebagai subjek. Nadiem menganggap, mereka hanya “alat”.

Infografik program Merdeka Belajar. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Indra mengingatkan Nadiem untuk menyelesaikan masalah mendasar guru terlebih dahulu, sebelum menyusun konsep sistem pendidikan. Selama ini, ujar dia, kompetensi guru merupakan biang keladi dari ketidakberesan sistem pendidikan.

“Yang tidak layak jadi guru, jangan dipaksakan jadi guru. Kemudian, melatih guru juga jangan sembarangan,” kata dia.

Atas dasar semua itu, Indra merasa, gagasan Merdeka Belajar yang ditawarkan Nadiem tak akan signifikan meningkatkan kualitas pendidikan karena tidak menjawab akar masalah di dunia pendidikan.

Indra menyarankan Nadiem untuk riset terlebih dahulu, sebelum bicara kualitas peserta didik. Mantan bos Gojek itu diharapkan membuat cetak biru terkait reformasi pendidikan hingga 2045, lengkap dengan jalan keluar permasalahan guru.

"Dengan blue print itu, kita bisa tahu apa yang dibutuhkan untuk menyongsong 2045. Selain itu, kita bisa tahu kompetensi guru seperti apa yang dibutuhkan. Selama ini peta itu tidak ada," ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid