sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Perjuangan hasil Pilkada di gerbang MK

MK dianggap benteng terakhir untuk memperjuangkan hasil pemilu.

Robi Ardianto
Robi Ardianto Senin, 09 Jul 2018 15:15 WIB
Perjuangan hasil Pilkada di gerbang MK

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyelesaikan rekapitulasi perolehan suara di Pilkada Serentak 2018. Dari 117 daerah yang menyelenggarakan Pilkada, terdapat 111 daerah yang telah menyampaikan laporannya ke KPU RI.

KPU pun mempersilakan pihak-pihak yang tidak terima dengan hasil rapat pleno rekapitulasi dan penetapan hasil suara Pilkada serentak 2018 KPU Kabupaten/Kota dan Provinsi ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Namun praktisi hukum pemilu, Ahmad Irawan, mengingatkan adanya aturan selisih ambang batas hak gugat bagi mereka yang hendak mengajukan permohonan sengketa Pilkada ke MK. Adapun besaran ambang batas tersebut berkisar 0,5% sampai 2% dari total suara sah.

"Besaran tersebut tergantung jumlah penduduk di wilayah tersebut. Jika jumlah selisihnya melebihi presentase tersebut, sebaiknya tidak usah mengajukan sengketa karena hal tersebut akan menguras waktu, tenaga, dan biaya pasangan calon. Belum lagi tensi politik dan potensi konflik yang ada di daerah," jelas Ahmad kepada Alinea, Senin (9/7).

Aturan selisih suara tersebut berlaku mengikat dan telah diberlakukan MK sejak aturan ambang batas hak gugat itu ditetapkan dalam pasal 158 ayat 1 dan ayat 2 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.

Berbagai argumen, fakta, dan pendapat banyak ahli telah dihadirkan untuk membujuk Mahkamah merubah ambang batas tersebut. Namun hasilnya nihil.

"Jadi jika masih ada yang mengatakan MK akan menyimpangi ketentuan tersebut, hal tersebut tidak didukung oleh rasio, fakta hukum, dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi," katanya.

Berdasarkan hasil Pilkada Tahun 2018, hanya ada Kota Tegal, Kota Cirebon dan Kab. Bolaang Mongondow Utara yang memenuhi ambang batas hak gugat ke MK. Dengan demikian, hanya pasangan calon suara terbanyak kedua dari daerah-daerah tersebut yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan sengketa ke MK.

Sponsored

Meski sudah ada penetapan ambang batas, hal ini tidak menutup niat sejumlah peserta Pilkada untuk mengajukan permohonan gugatan hasil Pilkada . Menurut Ahmad, banyak alasan yang dikemukakan untuk mengajukan permohonan sengketa.

"Umumnya alasan tersebut menyangkut terjadi kecurangan dan berbagai pelanggaran pemilu. Dalam sistem penegakan hukum pemilu di Indonesia, berbagai kecurangan dan pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilu telah dianggap selesai dan diselesaikan oleh pengawas dan penyelenggara pemilu," jelasnya.

Meski begitu, MK juga pernah menyimpangi ambang batas hak gugat dalam memutus dan mengadili perkara sengketa Pilkada. Hal ini terjadi pada Pilkada 2017 lalu di empat daerah di Papua, yaitu Intan Jaya, Tolikara, Puncak Jaya, dan Kepulauan Yapen.

Hal tersebut terjadi karena disana terdapat kejadian khusus, yaitu berupa keputusan KPU Kabupaten yang cacat hukum dan tidak pernah dilakukan penetapan hasil, sehingga aturan mengenai selisih ambang batas untuk menggugat tidak diterapkan.

Bukan Mahkamah Kalkulator 

Direktur Eksekutif Kode Inisiatif, Veri Junaidi, mengatakan bahwa jalur menuju MK dianggap sebagai bagian penting dalam upaya memperoleh keadilan bagi kontestan yang kalah. 

Dia menjelaskan beberapa syarat permohonan ke MK. Pertama legal standing, yaitu yang dapat melakukan pengajuan permohonan perselisihan hasil Pilkada adalah pasangan calon.

"Namun khusus daerah yang melaksanakan Pilkada dengan calon tunggal, yang menjadi legal standing adalah pasangan calon atau pemantau yang telah terdaftar di KPU," katanya. 

Kedua, adanya kadaluarsa waktu pengajuan, dimana permohonan diajukan paling lambat tiga hari kerja sejak diumumkan penetapan oleh KPU daerah.

Ketiga, ambang batas suara harus memenuhi syarat pengajuan perselisihan perolehan suara, sebagaimana diterangkan pada pasal 158 ayat 1 dan ayat 2 UU Pilkada. Dalam aturan tersebut, selisih suara antara pemegang suara terbanyak dengan pemohon berkisar antara 0,5% hingga 2% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir, sesuai jumlah penduduk dalam daerah yang ditetapkan oleh KPU Provinsi/Kab/Kota.

"Ada yang menarik dari penerapan ambang batas untuk mengajukan sengketa hasil ke MK, yakni adanya perbedaan cara pandang penerapan ambang batas oleh MK pada putusan dismissal seperti yang terjadi di empat kabupaten di Papua yaitu Tolikara, Puncak Jaya, Intan Jaya dan Yapen, dimana adanya putusan terkait pemungutan suara ulang dan rekapitulasi penghitungan suara lanjutan," katanya

Menurut Veri, hal tersebut membuktikan bahwa dalam proses pemeriksaan pendahuluan, MK sejatinya dapat menggali pokok permohonan yang disampaikan oleh para pemohon, tidak hanya berpegang teguh pada syarat formil semata.
 
"Persyaratan ambang batas bukanlah menjadi penghalang bagi peserta pilkada memperjuangkan keadilan pemilu terkait hasil ke MK," jelasnya. 

Veri melanjutkan, MK saat ini  telah banyak melakukan perubahan dalam menghitung ambang batas selisih suara. Menurutnya, pada 2015 lalu, penghitungan ambang batas ini dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 158.

Pada tahun 2017, MK telah melakukan perbaikan-perbaikan cara penghitungan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 158, dengan  menjadikan total suara sah sebagai basis angka dengan persentase yang diatur di dalam UU Pilkada, untuk menemukan nominal ambang batas selisih suara.

"Sekarang MK tidak lagi jadi Mahkamah Kalkulator, dengan tidak ada lagi pemberlakuan ambang batas secara selektif bagi peserta Pilkada," tuturnya.

Saat ini, MK telah menerima sembilan permohonan gugatan hasil Pilkada 2018. Dalam daftar yang dirilis situs resmi KPU RI, tidak ada sengketa Pilkada Provinsi atau pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang diajukan pada MK. Berikut adalah daftarnya:

 

 

Berita Lainnya
×
tekid