sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Respons Denny Indrayana setelah dilaporkan ke polisi soal rumor putusan MK

Menurut Denny, seharusnya, persoalan wacana dibantah dengan narasi pula, bukan memasukkan tangan paksa negara.

Hermansah
Hermansah Minggu, 04 Jun 2023 21:50 WIB
Respons Denny Indrayana setelah dilaporkan ke polisi soal rumor putusan MK

Pengamat hukum Denny Indrayana, merespons munculnya beberapa laporan polisi atas informasi yang dia sampaikan terkait akan dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK), soal sistem pemilu legislatif apakah proporsional tertutup atau proporsional terbuka.

"Terlepas adanya hak setiap orang untuk melaporkan ke polisi, saya berpendapat hak demikian mesti digunakan secara tepat dan bijak. Baiknya, tidak semua hal dengan mudah dibawa ke ranah pidana. Seharusnya, persoalan wacana dibantah dengan narasi pula, bukan memasukkan tangan paksa negara, apalagi proses hukum pidana. Terlebih,pembicaraan terkait topik politik di waktu menjelang kontestasi  Pemilu 2024 sangat rentan dengan kriminalisasi kepada lawan politik, yaitu ketika instrumen hukum disalahgunakan untuk membungkam sikap kritis dan oposisi," papar dia dalam keterangan resminya, Minggu (4/6).

Dia menjelaskan, informasi yang dia sampaikan kepada publik melalui akun sosial media adalah, upaya mengontrol putusan Mahkamah Konstitusi, sebelum dibacakan. Karena putusan MK itu bersifat final and binding. Tidak ada upaya hukum apapun dan langsung mengikat begitu dibacakan di sidang yang terbuka untuk 
umum. Putusan yang telah dibacakan harus dihormati dan dilaksanakan. Tidak ada pilihan lain. Tidak 
ada lagi ruang koreksi.

Masih segar dalam ingatan bagaimana putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK, makin melumpuhkan kredibilitas KPK, karena memperpanjang pimpinan yang problematik secara etika. Putusan itu juga menguatkan ada agenda strategi Pilpres 2024 yang dititipkan kepada perpanjangan masa jabatan Firli Bahuri cs.

"Saya berpendapat putusan terkait sistem pemilu legislatif sangat penting dan strategis, sehingga menjadi
perhatian banyak kalangan dari Sabang sampai Merauke. Bukan hanya dari partai dan bacaleg, namun 
juga yang paling penting, memengaruhi kadar suara rakyat pemilih yang tidak lagi punya bobot menentukan jika MK memutuskan sistem proporsional dengan nomor urut (tertutup) menggantikan sistem nama dan suara terbanyak (terbuka)," papar dia.

Karena sangat krusialnya putusan MK tersebut, dan tidak mungkin lagi ada koreksi setelah putusan dibacakan, maka pengawalan publik hanya mungkin dilakukan sebelum dibacakan. Dengan mengungkap informasi kredibel bahwa MK berpotensi memutus sistem proporsional tertutup, dia mengaku, mengundang khalayak luas untuk mencermati dan mengkritisi putusan yang akan dikeluarkan tersebut. Jangan sampai putusan terlanjur ke luar dan membuat demokrasi di Indonesia kembali mundur ke sistem pemilu proporsional tertutup ala Orde Baru yang otoritarian dan koruptif. 

"Saya berpendapat untuk sistem peradilan kita yang masih belum ideal, terutama karena masih rentannya intervensi kuasa dan masih maraknya praktik mafia peradilan, menyerahkan putusan pengadilan hanya pada proses di ruang sidang saja, tidaklah cukup. Untuk memperjuangkan keadilan, harus ada kontrol 
melalui kampanye publik (public campaign) dan kampanye media (media campaign). Itulah strategi yang 
selalu kami jalankan di INTEGRITY Law Firm, karena argumentasi dan logika hukum semata, sayangnya tidak jarang dikalahkan oleh kekuatan logistik kekuasaan dan praktik mafia peradilan," tutur dia.

Kendati begitu, Denny mengaku akan menghadapi proses hukum yang sedang berjalan, dengan catatan proses itu tidak disalahgunakan untuk pembungkaman atas hak asasi kebebebasan berbicara dan berpendapat, sebagaimana saat ini nyata-nyata dialami rekan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Jika prosesnya bergeser menjadi kriminalisasi kepada sikap kritis, maka dia akan menggunakan hak hukumnya untuk melakukan pembelaan melawan kedzaliman dan melawan hukum yang disalahgunakan.

Sponsored

Sebelumnya, Presiden Kongres Pemuda Indonesia Pitra Romadoni Nasution meminta agar Polri segera memanggil Denny Indrayana terkait informasi yang disampaikannya kepada publik. Apabila nantinya MK memutuskan pemilu legislatif tidak ke sistem proporsional tertutup atau JR tersebut ditolak, menurutnya, patut diduga Denny Indrayana telah menyebarkan kabar tidak pasti dan informasi bohong. Sehingga dapat dimintai pertanggung jawaban pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946, yang bunyinya sebagai berikut:

Pasal 14. (1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun.

Pasal 15. Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya dua tahun.

Untuk itu, Kongres Pemuda Indonesia meminta Polri segera menindak lanjuti hal tersebut agar tidak menjadi Keonaran dikalangan rakyat yang dapat mengganggu ketertiban umum dengan isu dan kabar yang tidak pasti tersebut.

Berita Lainnya
×
tekid