sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ricuh swab di Suramadu dan perlunya pendekatan kebudayaan

Pemangku kebijakan di Surabaya maupun Madura perlu memakai pendekatan kebudayaan sehingga swab antigen di Suramadu bisa diterima.

Fathor Rasi
Fathor Rasi Jumat, 18 Jun 2021 15:04 WIB
Ricuh swab di Suramadu dan perlunya pendekatan kebudayaan

Pengamat komunikasi politik Universitas Airlangga Surabaya, Suko Widodo, menilai ada koordinasi dan komunikasi budaya yang terputus antara Surabaya-Madura. Ini disampaikan Sukowi menanggapi beredarnya video ricuh puluhan pengendara yang merusak posko penyekatan di kawasan Suramadu pada Jumat, (18/6/2021) dini hari. Penyebab kericuhan ini dipicu penolakan sejumlah warga untuk di-swab antigen Covid-19.

"Ada semacam missing link komunikasi kebudayaan antara pemangku kebijakan Pemkot Surabaya dan Madura, khususnya Kabupaten Bangkalan. Program yang baik bagi masyarakat bisa gagal kalau komunikasi publiknya tidak akurat," kata Pakar Komunikasi Unair, Suko Widodo, kepada Alinea, Jumat (18/6).

Komunikasi kultural, jelasnya, adalah dengan menempatkan kebudayaan sebagai bagian dari alat komunikasi agar kebijakan terkait Covid-19 mudah dipahami, termasuk pelaksanaan tes swab di kawasan Suramadu.

"Ini harus dirumuskan dan dibicarakan kedua belah pihak, baik Pemkot Surabaya maupun Pemda di Madura. Harus dipetakan siapa yang harus turun kelapangan dengan memahami budaya setempat. Sehingga tidak terkesan mendadak seperti ini," jelasnya.

Terlebih, urainya, ulama di Madura yang memang memiliki kedekatan dengan masyarakat akar rumput agar lebih dilibatkan, sehingga sebagian masyarakat yang tidak percaya adanya Covid-19 bisa memahami dan menerima penjelasan. "Juga akademisi dan kalangan expert perlu dilibatkan. Terutama kalangan kampus di Madura. Mereka punya jaringan yang luas," katanya.

Pun aparat yang terlibat turun ke lapangan, jelasnya, juga tidak perlu tampil 'serem-serem' seperti membawa pistol sehingga berpotensi bisa menghambat komunikasi. "Akurasi komunikasi menyangkut masalah siapa yang menyampaikan, bahasa apa yang dipahami, dan memahami karakter penerima informasi. Ada baiknya program yang untuk kebaikan ini melibatkan warga setempat sebagai petugas atau relawan," terang Sukowi.

Sebelumnya, Gerakan Selamatkan Jawa Timur (GAS) menilai kebijakan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi ihwal penyekatan dan screening Covid-19 di Jembatan penghubung Surabaya-Madura sebagai tindakan diskriminatif.

Sponsored

"Jadi begini Pak. Kebijakan Eri Cahyadi terkait dengan screening di Suramadu itu menurut kami terlalu gegabah dan kurang tepat. Pertama, karena tidak ada koordinasi dengan pimpinan daerah sekitar Surabaya utamanya Madura," ujar aktivis GAS Bob Hasan, kepada Aline.id, Rabu (16/6/2021) pagi.

Bob Hasan melanjutkan, kebijakan tersebut dinilai diskriminatif, ini terlihat dari pemeriksaan kendaraan yang terkesan pilih-pilih. "Kedua, ketika penyekatan awal-awal hanya untuk motor liter (pelat) M atau warga Madura. Untuk motor yang liter L atau lainnya lolos enggak ada screening, bagi kami ini sangat diskriminatif," ungkapnya.

Ketiga, jelasnya, kebijakan screening tersebut bukan malah menekan penularan Covid-19, namun justru menciptakan kerumunan baru. "Seharusnya, Eri untuk membuat kebijakan seperti itu ya koordinasi dulu dengan pimpinan daerah Madura. Sebab itu mencegat masuknya orang Madura. Kalau memang tujuan Eri Cahyadi untuk melindungi warganya dari virus, lalu kenapa jalur masuk dari Gresik, jalur masuk tol dan Sidoarjo tidak di screening juga?," pungkasnya.

Diketahui, informasi warga merusak pos penyekatan di Suramadu beredar melalui sebuah video di media sosial bahkan sempat viral. Dalam tayangan video itu, tampak pengendara ricuh dengan petugas karena menolak diswab antigen Covid-19. Mereka terlihat saling dorong dan para pengendara langsung merebut KTP yang dipegang petugas Linmas Kota Surabaya untuk pendataan dan swab antigen.

Berita Lainnya
×
tekid