sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sia-sia subsidi kuota internet Kemendikbud di daerah 3T

Program subsidi kuota internet gratis diberikan Kemendikbud menunjang pembelajaran jarak jauh. Apakah bermanfaat untuk semua wilayah?

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Kamis, 10 Sep 2020 15:55 WIB
Sia-sia subsidi kuota internet Kemendikbud di daerah 3T

Sejak Juli 2020 lalu, di tengah ancaman pandemi Covid-19, peserta didik di SMA Katolik St. Ignatius Loyola Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) harus pergi ke sekolah untuk belajar tatap muka. Kegiatan belajar mengajar tatap muka itu diterapkan dengan sistem sif antarkelas.

Para siswa bergantian dua hari masuk per tingkatan kelas. Pada Agustus 2020, per kelas seminggu sekali mereka ke sekolah. Setiap sesi dilaksanakan pagi hingga siang selama lima jam, dengan peserta didik maksimal 15 orang. Pihak sekolah pun menerapkan protokol kesehatan selama kegiatan belajar.

Awal September 2020, wilayah Manggarai Barat, NTT sudah berubah menjadi zona kuning. Kegiatan belajar mengajar tatap muka pun diizinkan, meski tetap dengan pola sif.

“Senin depan rencananya waktu shift masing-masing kelas diubah. Jadi, menjalankan pembelajaran masing-masing selama dua minggu sekali. Bergantian terus,” kata salah seorang guru di SMA Katolik St. Ignatius Loyola Labuan Bajo, Carles Deon saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (9/9).

“Itu berdasarkan petunjuk dari Dinas Pendidikan Kabupaten (Manggarai Barat).”

Bukan tanpa alasan sekolah tempat Carles bekerja sudah melakukan pembelajaran tatap muka sejak Juli 2020. “Kondisinya susah sinyal,” katanya.

“Makanya kegiatan belajar lewat Google Meeting atau Zoom agak susah dijalankan. Tidak ada jaringan internet dan listrik di kampung.”

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim (tengah) bersama Sekjen Kemendikbud Didik Suhardi (kiri) bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (12/12/2019)./Foto Antara.

Sponsored

Susah sinyal

Kondisi serupa juga dialami para siswa di SMPN 2 Tanjung, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), tempat Anggriani bekerja. Sejak awal Juli 2020, pembelajaran tatap muka sudah dilakukan, dengan metode guru mengunjungi rumah siswa dan menggelar belajar dalam kelompok kecil. Sayangnya, langkah itu tak bisa dilakukan rutin setiap hari karena jarak rumah guru dan murid yang cukup jauh.

Mulai Senin (14/9), Anggriani menyebut, SMPN 2 Tanjung akan menggelar simulasi belajar tatap muka di sekolah. Setiap kelas akan dibagi ke dalam beberapa kelompok, dengan jumlah siswa per kelompok maksimal hanya 10 orang. Anggriani menyebut, pembelajaran jarak jauh secara daring yang sempat dilakukan sejak Maret 2020 tidak efektif.

“Karena tempat tinggal siswa masih terisolir, jaringan internetnya juga susah. Pernah kita coba pakai daring, hanya lima orang siswa yang aktif,” kata Anggriani saat dihubungi, Rabu (9/9).

Anggriani menjelaskan, permukiman siswanya memiliki geografis yang berbukit-bukit. Hal itu menyebabkan internet sulit diakses. Selain itu, menurut dia, peserta didiknya jarang yang memiliki gawai.

Kisah sulitnya mengakses jaringan internet pun dialami salah satu orang tua siswa yang tinggal di Labuan Bajo, NTT, Maria Evitansine. “Jadi, anak-anak cari (lokasi) jaringan yang full,” kata Maria saat dihubungi, Rabu (9/9).

Menurut Maria, demi belajar daring, seorang putrinya Farlyn yang bersekolah di SMP Katolik Santa Yosefa Labuan Bajo, harus berjalan kaki selama 30 menit ke lokasi yang lebih tinggi agar bisa mendapatkan sinyal internet yang baik.

Kesulitan ditambah lagi dengan biaya untuk membeli pulsa. Biaya pulsa untuk keperluan belajar daring dua anaknya, ungkap Maria, mencapai Rp75.000 dalam beberapa hari.

“Farlyn pakai dibagi bersama adiknya. Belum kalau mereka video call dengan gurunya, ya tidak sampai dua hari sudah habis,” ucapnya.

Maka, Maria menilai, subsidi kuota internet dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bisa meringankan pengeluaran tambahan itu. Carles pun menyambut gembira program kuota internet gratis dari Kemendikbud. Ia mengatakan, akhir Agustus 2020, pihak SMAK Loyola sudah memverifikasi data siswa dan guru untuk keperluan pendataan.

Di samping itu, ia menuturkan, sudah ada dua perusahaan penyedia layanan telekomunikasi yang datang ke sekolahnya. Mereka membagikan kartu perdana untuk membantu kebutuhan belajar peserta didik.

“Harapan kami, walaupun Covid-19 nanti sudah selesai, Kemdikbud tidak mencabut kebijakan itu agar anak-anak di sini dapat terbantu belajarnya dengan fasilitas itu,” katanya.

 Guru SD berkomunikasi dengan siswa saat proses belajar mengajar (PBM) melalui aplikasi media daring di rumahnya di Kelurahan Bubulak, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (1/4/2020)./Foto Antara/Arif Firmansyah.

Pendapat berbeda diungkap Anggriani. Ia mengatakan, hal itu kurang tepat bagi kebutuhan pembelajaran di wilayahnya. Anggriani menilai, kebijakan pemerintah itu perlu mempertimbangkan kondisi riil di daerah.

“Menurut saya, subsidi itu hanya tepat untuk di wilayah perkotaan,” ujar dia.

Ia mengusulkan, nominal subsidi yang hendak dikucurkan bagi daerah yang belum punya kapasitas internet mumpuni bisa dialihkan menjadi bentuk lain. Misalnya, subsidi peralatan pembelajaran dan tenaga pengajar.

Keluhan Anggriani mungkin termasuk pula keluhan siswa dan guru yang tinggal di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), yang belum memiliki infrastruktur memadai untuk menerapkan pembelajaran jarak jauh secara daring.

Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim berencana akan memberikan subsidi kuota internet kepada guru, siswa, dosen, dan mahasiswa. Alokasi anggaran untuk program ini sebesar Rp7,2 triliun.

Subsidi kuota internet diberikan selama empat bulan, dari September hingga Desember 2020. Rinciannya, siswa mendapatkan 35 gigabyte (GB), guru 42 GB, serta mahasiswa dan dosen masing-masing 50 GB. Semua diberikan setiap bulan.

Menurut Kepala biro Kerja Sama dan Humas Kemendikbud Evy Mulyani, pihaknya tengah memberikan perpanjangan waktu untuk memasukkan data ke aplikasi data pokok pendidikan (Dapodik) bagi peserta didik. Seiring dengan itu, ia mengaku Kemendikbud masih menggodok petunjuk teknis penyaluran subsidi kuota internet.

“Juknis (petunjuk teknis) masih dalam proses finalisasi,” kata Evy saat dihubungi, Selasa (8/9).

Segudang problem dan solusinya

Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kalimantan Timur Anwar Sanusi memandang, program tersebut dipilih karena banyaknya keluhan orang tua murid. Anwar menyebut, Disdik Kalimantan Timur sudah menyusun rencana penyaluran bantuan kuota internet bagi siswa sejak pertengahan Agustus 2020. Rencananya, subsidi akan disalurkan untuk siswa SMA, SMK, dan SLB.

“Kami di sini masih mengupayakan yang terbaik, sembari menunggu keputusan Pak Gubernur (Kaltim),” ucap Anwar ketika dihubungi, Senin (7/9).

Meski begitu, Anwar menegaskan, cakupan kebijakan itu perlu melihat lebih detail kebutuhan masing-masing daerah di Indonesia. "Kalau kebijakan itu mau diterapkan semua se-Indonesia, tentu tidak bisa disamaratakan,” tuturnya.

Dewan Pembina Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Muhammad Qudrat Nugraha pun menilai, kebijakan itu akan menimbulkan persoalan bagi mereka yang tak memiliki akses perangkat telekomunikasi.

Ilustrasi anak SD tengah berkegiatan di lapangan sekolah./Pixabay/Aditiotantra..

“Ibarat makan nasi tapi tidak ada piring. Apakah hanya diwadahi tangan?” ujarnya saat dihubungi, Senin (7/9).

Kebijakan itu dinilai Qudrat juga akan riskan muncul gangguan, mengingat besarnya jumlah tenaga pendidik di tingkat SD, SMP, dan SMA. “Persebaran geografisnya juga jauh lebih kompleks karena sekolah menyebar tak hanya di wilayah perkotaan,” kata Qudrat.

Senada, Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian berpendapat, subsidi kuota internet akan memunculkan persoalan lain di daerah 3T. Sebab, akses internet yang rata-rata terbatas di wilayah tersebut malah berpeluang membuang-buang anggaran.

“Ada daerah yang menanjak dan perbukitan, tidak ada jaringan sama sekali. Untuk apa?” ucapnya saat dihubungi, Selasa (8/9).

Hetifah mengusulkan agar Kemendikbud memilah dan memilih daerah 3T yang menjadi prioritas subsidi kuota internet, mempertimbangkan infrastruktur jaringan yang baik.

Di sisi lain, program Kemendikbud ini tentu akan menjadi pemantik beberapa perusahaan penyedia layanan telekomunikasi untuk bersaing.

Direktur Utama Telkomsel Setyanto Hantoro dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id, Selasa (8/9), berdalih sudah melakukan pemerataan koneksi internet di wilayah 3T hingga perbatasan negara. Dengan demikian, ia berharap, problem pembelajaran jarak jauh bisa teratasi.

“Semoga akan semakin setara dengan akses internet di wilayah perkotaan,” kata Setyanto.

Sementara Chief Enterprise & SME Officer XL Axiata, Feby Sallyanto mengatakan, XL menyiapkan program paket data khusus mahasiswa dan pengajar yang terbuka bagi seluruh perguruan tinggi di Indonesia.

“Harapan kami, pendidik dan mahasiswa tidak perlu khawatir lagi dengan kesulitan yang dihadapi pada saat belajar online di masa pandemi ini,” kata Feby dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id, Selasa (8/9).

“Semoga paket data XL khusus edukasi ini dapat menunjang komunikasi dan produktivitas pelajar dan pendidik.”

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah mengatakan, di daerah 3T yang susah sinyal, sebaiknya pembelajaran dilakukan secara tatap muka. Hal ini bisa dijalankan dengan pembagian jadwal jam belajar yang ketat, mempertimbangkan jumlah siswa yang tak terlalu banyak. Ia juga mengusulkan agar dilakukan pemetaan daerah yang pantas disalurkan tunjangan bagi pengajar.

“Guru perlu diberikan tunjangan lebih, bukan hanya tunjangan pulsa tapi juga untuk mengganti biaya waktu dan tenaga mengajar,” tutur Trubus saat dihubungi, Rabu (9/9).

Infografik kuota internet. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Sedangkan pengamat pendidikan Darmaningtyas menilai, program subsidi kuota internet membutuhkan koordinasi antarkementerian. Tujuannya, menjamin penyaluran bantuan tepat sasaran dan tepat guna.

Meski program Kemendikbud ini positif, tetapi Darmaningtyas melihat kesenjangan akan terjadi jika kebijakan tersebut diterapkan di daerah yang belum punya jaringan internet mumpuni.

“Kemdikbud perlu berkoordinasi dengan Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) dan Kemendesa (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi) untuk pematangan jaringan internet,” ujarnya ketika dihubungi, Rabu (9/9).

Selain percepatan pembangunan jaringan internet, menurut Darmaningtyas, kebijakan itu juga harus didukung penyediaan sarana perangkat telekomunikasi, terutama gawai untuk siswa kurang mampu.

“Langkah-langkah tersebut, perlu dijalankan sebagai sebuah rangkaian yang saling terkait dan mendukung,” tuturnya.

Berita Lainnya
×
tekid