sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tangani 189 kasus kekerasan seksual selama 2021, YLBHI: Proses hukum tak berpihak pada korban

Dari segi pelaku, terbanyak kasus kekerasan seksual pada relasi dalam pacaran.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Jumat, 31 Des 2021 14:32 WIB
Tangani 189 kasus kekerasan seksual selama 2021, YLBHI: Proses hukum tak berpihak pada korban

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menangani 189 kasus kekerasan seksual selama tahun 2021. YLBHI menangani kasus kekerasan seksual berupa percobaan atau upaya pemerkosaan, kekerasan berbasis gender online (KBGO), pelecehan, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, pembuatan video, pemerasan, kekerasan fisik-psikis, dan gang rape. 

Untuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), YLBHI menangani kasus penelantaran rumah tangga, kekerasan fisik, menikah tanpa izin istri, kekerasan psikis, eksploitasi anak, dan kekerasan fisik terhadap anak.

Dari segi pelaku, terbanyak kasus kekerasan seksual pada relasi dalam pacaran. Disusul kemudian, pelaku relasi dalam keluarga; relasi dalam pekerjaan; pertemanan; pertemanan dalam sosial media; pinjaman online; serta tidak dikenal. Terkait situasi penanganan kekerasan terhadap perempuan, YLBHI menyimpulkan proses hukum tidak berpihak kepada korban.

Pertama, terlihat dari penghentian proses penyidikan. “Bisa dilihat dari kasus yang ditangani LBH Makassar, di Luwu Timur, yang mana ada 3 anak korban perkosaan pada 2019 proses penyelidikannya dihentikan. Ini berhasil didorong dengan berbagai upaya yang muncul secara serentak di publik. Gerakan tagar percuma lapor polisi,” ujar peneliti YLBHI, Zaenal dalam konferensi pers virtual, Jumat (31/12).

Sponsored

Kedua, terlihat dari pencabutan berkas dengan dalih restorative justice. Misalnya, Polrestabes Makassar memfasilitasi pencabutan berkas pada dua kasus kekerasan seksual terhadap anak dan disabilitas. Padahal, merujuk KUHAP, restorative justice dapat dilakukan dengan berbagai prasyarat, seperti pelaku tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.

Ketiga, undue delay atau pembiaran atau penanganan kasus berlarut-larut. Misalnya, korban KBGO yang didampingi LBH Semarang melakukan pelaporan ke Polda Jawa Tengah sejak Juli 2020. Namun, proses hukum tidak mengalami kemajuan signifikan sejak Oktober 2021. Keempat, rendahnya hukuman pada terdakwa kasus KDRT. Ini menjadi hambatan bagi korban untuk mencari keadilan. Misalnya, pelaku komisioner KPUD Jawa Tengah hanya mendapatkan tuntutan dan vonis 4 bulan penjara dalam kasus KDRT.

Kelima, penegak hukum tidak berperspektif korban. Ini dapat dilihat pada hampir semua tahapan proses penyelidikan di kepolisian, tahap penuntutan di pengadilan, maupun tahap pemeriksaan di pengadilan. Kelima, hambatan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan sangat banyak. Bahkan, polisi kerap menolak laporan dengan dalih lemahnya bukti.

Berita Lainnya
×
tekid