Terawan cs dan problematik jabatan dubes "instan"
Terdepak dari kursi Menteri Kesehatan (Menkes), Terawan Agus Putranto kemungkinan tak bakal menganggur lama. Usai terkena reshuffle, Terawan kini diajukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon dubes RI untuk Spanyol yang berkedudukan di Madrid.
Bersama 27 calon dubes lainnya, nama Terawan sudah dikirim Jokowi ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika tidak ada kendala, Terawan dan calon dubes lainnya bakal menjalani uji kelayakan dan kepatutan pada pekan kedua Maret 2021.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, pencalonan duta besar merupakan hak prerogatif Jokowi. Soal nama Terawan dan dubes-dubes lainnya dari kalangan nonkarier, Faizasyah enggan berkomentar.
"Pencalonan (dubes) hak prerogatif Presiden. Prosesnya hanya Menlu (Retno P Marsudi) yang tahu," kata Teuku Faizasyah saat dikonfirmasi Alinea.id, Sabtu (27/2).
Selain Terawan, ada dua kandidat dubes yang dekat dengan Jokowi, yakni Zuhairi Misrawi dan Muhammad Prakosa. Zuhairi dikenal sebagai tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) dan mantan anggota tim kampanye Jokowi-Ma'ruf Amin pada Pilpres 2014 dan 2019.
Dalam dokumen nama-nama calon dubes yang beredar di kalangan wartawan, Zuhairi diplot jadi calon dubes Arab Saudi. Adapun politikus PDI-Perjuangan Muhammad Prakosa diajukan Jokowi sebagai calon dubes RI untuk Italia.
Selain tiga nama itu, ada nama Ketua Kamar Dagang Indonesia (KADIN) Rosan Roeslani. Oleh Jokowi, Rosan dicalonkan menjadi dubes RI untuk Amerika Serikat di Washington D.C. Rosan bakal menggantikan posisi Muhammad Lutfi yang kini menjabat Menteri Perdagangan.
Anggota Komisi I DPR RI Junico Siahaan mengatakan nama-nama calon dubes teranyar itu kini masih berada di tangan pimpinan DPR. Meskipun sebagian merupakan orang-orang terdekat Jokowi, Nico meyakini para calon dubes dipilih bukan karena sekadar balas jasa.
"Apa pun latar belakang mereka atau pernah bersinggungan dengan Pak Jokowi, menurut saya, hal yang wajar-wajar saja karena Pak Jokowi perlu orang dia kenal. Dalam arti kata, dia (calon dubes) tahu bagaimana prinsipnya (Jokowi) bekerja," ujar Nico kepada Alinea.id, Jumat (26/2).
Menurut Nico, Jokowi memiliki pertimbangan khusus saat mencalonkan dubes nonkarier untuk mewakili Indonesia di negara sahabat. Ia mencontohkan maraknya kalangan pengusaha ditempatkan di negara-negara yang punya hubungan dagang yang kuat dengan Indonesia seperti China, Amerika Serikat, Prancis, dan Jepang.
"Enggak mungkinlah Istana melacurkan tugas-tugas yang maha penting itu hanya sekadar untuk memberikan jabatan atau untuk sekadar berterima kasih kepada mereka yang sudah berjuang selama kampanye," imbuh politikus PDI-Perjuangan itu.
Pendapat senada disampaikan anggota Komisi I Muhammad Farhan. Politikus Partai Nasional Demokrat (NasDem) ini menilai Jokowi memilih calon dubes nonkarier karena memiliki kompetensi khusus yang dibutuhkan sebagai perwakilan di negara sahabat.
"Kalaupun ada yang disorot, misalnya, Pak Terawan. Dia di-reshuffle dari Menkes lalu diberi jabatan jadi dubes, ya, enggak bisa dibilang sebagai hadiah hiburan juga," kata Farhan kepada Alinea.id, Jumat (26/2).
Farhan menduga Jokowi memilih Terawan untuk memperkuat diplomasi ekonomi. Jika lolos uji kelayakan dan kepatutan di DPR, Terawan memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan volume ekspor RI ke Spanyol dan menjadikan Negeri Matador itu sebagai pintu masuk ke Uni Eropa.
"Di Eropa kita memiliki dua masalah. Pertama, kelapa sawit sama sekali ditutup ke Uni Eropa dan sudah masuk dalam skema pengganti atau pengayaan bio solar di Eropa. Itu kan sangat memukul kita. Pada saat bersamaan, pelarangan perdagangan kita terhadap Eropa enggak berarti banyak. Kita hanya melarang wine (anggur) dari Eropa," tutur dia.
Ini bukan kali pertama Jokowi menunjuk orang-orang terdekat sebagai dubes di negara tetangga. Pada 2020, Jokowi menunjuk jurnalis senior Surya Pratomo, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Roem Kono dan eks Mendag Muhammad Lutfi sebagai dubes. Ketiganya adalah pendukung Jokowi pada Pilpres 2019.
Pada 2015, setahun setelah Jokowi memenangi pilpres perdananya, daftar nama dubes baru yang diajukan Jokowi juga pernah dipersoalkan. Ketika itu, dari 33 calon dubes, ada delapan nama kandidat yang berasal dari kalangan politikus partai pendukung pemerintah.
Kental nuansa politis
Pengamat politik internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth mengatakan praktik penganugerahan jabatan dubes sebagai apresiasi terhadap jasa seseorang saat kampanye sudah bukan fenomena asing lagi.
"Kalau itu pun ada kemampuannya masih lumayan. Akan tetapi, kalau semata-mata memberikan kedudukan sebagai imbalan, menurut saya, tidak tepat. Jadi, kalau representasi tidak perform secara maksimal, ya, kita yang malu," kata Adriana kepada Alinea.id, Sabtu (27/2).
Menurut Adriana, posisi dubes sebaiknya diisi oleh pejabat dari Kemenlu yang sudah malang melintang di dunia diplomasi. Selain mesti sudah mengabdi selama 20-25 tahun di Kemenlu, calon dubes karier harus mengikuti pelatihan berjenjang sebelum diusulkan.
"Jadi, itu jelas dari segi pemahaman tentang pekerjaan dan apa yang harus dilakukan, tugas dan tanggung jawabnya itu. Yang melalui karier, diplomat itu pasti akan lebih bagus. Gitu, ya. Walaupun kalau bicara tentang kualitas, ya, tergantung," tutur Adriana.
Meskipun punya hak prerogatif, menurut Adriana, Jokowi seharusnya tak sembarangan memberikan jatah kursi dubes. Jabatan itu, kata dia, sebaiknya hanya diberikan kepada kalangan nonkarier yang memang ditugasi dalam misi tertentu. "Kekurangannya mereka tidak mengikuti karier seperti diplomat-diplomat itu," imbuh dia.
Meski tidak secara langsung, Adriana berpendapat, kehadiran dubes nonkarier potensial bikin diplomasi Indonesia tak bergigi. Sebagai gambaran, ia mencontohkan lemahnya pemahaman perwakilan-perwakilan negara sahabat terhadap persoalan Papua. Itu ia ketahui dari berbagai diskusi dengan pejabat kedubes asing di Jakarta.
"Padahal, publik internasional perlu sekali tahu apa yang terjadi di Papua, soal pembangunan, apa pun itu. Nah, kalau yang muncul hanya itu (masalah HAM dan gerakan Organisasi Papua Merdeka), berarti ada tugas yang belum diselesaikan," kata dia.
Pendiri Synergy Policies Dinna Prapto Raharja mengatakan, sulit dimungkiri penempatan dubes sangat kental dengan nuansa politis. Di masa lalu, misalnya, jabatan dubes kerap diberikan kepada tokoh-tokoh politik sebagai upaya menyingkirkan pengaruh mereka di Tanah Air.
"Kadang kala penunjukan tersebut bisa berupa ahli yang memang dibutuhkan keahliannya, kadang juga tokoh partai, orang-orang yang dianggap berjasa bagi negara atau pemerintahan," kata Dinna saat dihubungi Alinea.id, Senin (1/3).
Meskipun lebih berpengalaman di dunia diplomasi, menurut Dinna, tak semua pejabat karier di Kemenlu cocok untuk ditempatkan sebagai dubes di negara-negara tertentu. Di Swiss, misalnya, Indonesia, kata dia, lebih membutuhkan perwakilan yang punya kapabilitas di bidang perbankan.
"Karena sektor terkuat di Swiss adalah perbankan dan keuangan. Di Arab Saudi, yang paham politik, kultur, dan bisa berbahasa Arab paling cocok untuk di sana. Jarang juga diplomat Kemenlu yang punya keahlian komprehensif untuk penempatan Arab Saudi. Sejumlah negara juga butuh diberi tokoh agar segan terhadap Indonesia," ujar dia.
Ketika ditanya soal penempatan Terawan--seorang dokter militer yang minim rekam jejaknya di jagat politik internasional--di Madrid, Dinna menjawab diplomatis. Menurut dia, hanya Jokowi yang tahu alasan penunjukan tersebut.
"Spanyol hari ini termasuk negara pinggiran dalam politik Uni Eropa tapi punya sejumlah keunggulan, khususnya di sektor maritim dan berminat investasi ke kawasan ASEAN," kata dia.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana meminta agar calon dubes dari lingkaran Jokowi tak dipersoalkan. Seperti halnya jabatan menteri, menurut dia, posisi duta besar memang jabatan politis.
"Presiden bisa menentukan atas pertimbangan beliau sendiri. Ya udah biasa itu, dari tahun ke tahun juga seperti itu," ujar Hikmahanto saat dihubungi Alinea.id, Senin (1/3).
Lebih jauh, Hikmahanto mengatakan, lemah atau kuatnya diplomasi Indonesia tak semata ditentukan oleh kapabilitas seorang duta besar sebagai perwakilan negara.
"Diplomasi kan enggak cuma dari duta besar aja. Dia (dubes) itu kayak pemimpin, kan ada diplomat-diplomat lain. Jadi, enggak ada masalah," jelas Hikmahanto.
Kepada Alinea.id, anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani mengatakan DPR akan berupaya memastikan Jokowi tak salah pilih dubes lewat uji kepatutan dan kelayakan. Ia membantah tahapan akhir pemilihan dubes itu hanya sekadar formalitas.
"Proses fit and proper test itu memakan waktu dan energi. Yang terakhir dilakukan selama 3 hari secara maraton, empat sesi setiap harinya. Ini bukan pekerjaan main-main. Kami memiliki kepentingan untuk memastikan dubes bisa melakukan tugasnya sebaik mungkin," ujar Christina.