sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Vaksinasi dan perang melawan penyakit menular

Dalam catatan sejarah, Indonesia kerap dilanda wabah penyakit menular. Upaya vaksinasi pun selalu dilakukan.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Senin, 09 Nov 2020 06:32 WIB
Vaksinasi dan perang melawan penyakit menular

Dokter spesialis penyakit dalam sekaligus Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban mengingatkan, vaksin untuk Covid-19 berpeluang memakan waktu lama. Zubairi pernah memiliki pengalaman meneliti human immunodeficiency virus (HIV) penyebab acquired immune deficiency syndrome (AIDS), ketika penyakit itu muncul di Indonesia pada 1980-an.

Menurutnya, HIV/AIDS hingga kini vaksinnya belum berhasil ditemukan. Hal itu mungkin pula terjadi dalam proses penemuan vaksin untuk Covid-19.

“Pasti memakan waktu. Jadi jangan sampai vaksin dipaksakan pemakaiannya, malah bisa jatuh korban jiwa,” ucapnya saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (6/11).

Meski begitu, Pemerintah Indonesia berupaya mempercepat pengadaan vaksin untuk Covid-19. Di samping mengusahakan pembuatan vaksin mandiri, setidaknya sudah ada tiga produsen vaksin asal China yang menyepakati kerja sama, yakni Sinovac, Sinopharm, dan CanSino. Pemerintah menargetkan 170 juta orang mendapat vaksinasi pada 2021, dengan jumlah 340 juta dosis.

Vaksinasi di masa kolonial

Indonesia memiliki pengalaman panjang menghadapi penyakit menular dan upaya membuat vaksin. Misalnya saja ketika wabah pes melanda Malang dan sekitarnya pada 1911-1916.

Sejarawan kesehatan sekaligus penulis buku Epidemi Penyakit Pes di Malang 1911-1916 (2020) Syefri Luwis mengatakan, berdasarkan laporan pemerintah kolonial, korban yang meninggal dunia karena pes di Malang dan sekitarnya para 1911-1916 nyaris 34.000 jiwa.

Jumlah korban meninggal yang tercantum dalam laporan surat kabar, kata dia, bahkan menyebut terdapat sebuah desa yang penduduknya meninggal semua. “Tapi ada upaya reduksi data jumlah korban yang kemungkinan lebih besar,” katanya saat dihubungi, Kamis (5/11).

Sponsored

Beragam upaya untuk mencegah wabah pes dilakukan. Salah satunya melalui uji vaksin. Syefri mengatakan, vaksin untuk pes baru berhasil ditemukan pada 1930-an.

“Sementara obat-obatan lain tidak berhasil, malah berefek meninggal dunia,” katanya.

Pada 1931, dokter Otten dari Institute Pasteur, Bandung, berhasil menemukan vaksin untuk pes. Otten mengembangkan vaksin dari bakteri pes hidup.

Petugas medis menunjukkan hasil sampel saat tes swab di Stasiun Bogor, Jawa Barat, Senin (27/4)/Foto Antara/Arif Firmansyah.

Menurut Martina Safitry, pengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta, vaksin temuan Otten lebih efektif dibandingkan vaksin impor asal Jerman dan Inggris.

“Sebelumnya hanya sedikit pula orang yang dapat vaksin, karena masih mengimpor,” kata Martina, yang menulis tesis Dukun dan Mantri Pes: Praktisi Kesehatan Lokal di Jawa pada masa Epidemi Pes 1910-1942 dalam diskusi daring “Kisah Karantina Paris of the East Java: Wabah Pes di Malang 1910–1916”, Jumat (6/11).

Selain pes, Indonesia yang kala itu bernama Hindia Belanda pun pernah dihantam pandemi flu spanyol pada 1918-1919. Kandidat doktor sejarah dari University of Melbourne sekaligus penulis buku Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia masa Kolonial 1918-1919 (2020) Ravando Lie mengatakan, angka kematian penduduk di Hindia Belanda akibat flu spanyol tertinggi di Asia Tenggara.

Jumlah korban meninggal dunia di Jawa dan Madura mencapai 1,5 juta orang. Namun, menurut penelitian Siddarth Chandra dari Michigan State University dalam makalah ilmiahnya yang terbit pada 2013 menyebut, korban meninggal di Jawa dan Madura mencapai 4,26-4,37 juta jiwa.

Ravando mengatakan, pemerintah kolonial saat itu menyosialisasikan penggunaan masker. Tenaga kesehatan juga dikerahkan sebagai garda terdepan. Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (Dinas Kesehatan) menganjurkan obat-obatan berupa aspirin, kina, dan doveripoeder.

“Namun di masyarakat akar rumput justru lebih menghendaki penggunaan obat-obatan herbal, seperti dari labu air, jahe, temulawak, cengkeh, dan obat tradisional lainnya,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (6/11).

“Ini kerap terjadi dalam penanganan flu spanyol, seperti juga di masa Covid-19 sekarang.”

Namun, tak pernah ditemukan vaksin. Ravando mengatakan, pandemi flu spanyol berakhir dengan sendirinya, setelah tercipta kekebalan massal.

“Flu spanyol lalu tidak lagi dianggap berbahaya. Sudah dianggap seperti flu biasa saja. Tubuh manusia bereaksi menyesuaikan diri dengan kondisi virus itu,” ucapnya.

Di samping penyakit-penyakit tadi, Indonesia juga pernah dilanda penyakit menular lainnya, seperti cacar, kusta, kolera, tuberkolosis, demam berdarah, dan malaria.

Cacar merupakan penyakit menular yang pernah membuat pemerintah kolonial kewalahan. Menurut staf pengajar jurusan sejarah di Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam tulisannya “Dari Mantri hingga Dokter Jawa: Studi Kebijakan Pemerintah Kolonial dalam Penanganan Penyakit Cacar di Jawa Abad XIX-XX” di Humaniora edisi 3 Oktober 2006, cacar mulai ditemukan di Jawa pada awal abad ke-17.

Pada 1781 diperkirakan dari 100 penduduk di Jawa yang terkena cacar, 20 di antaranya meninggal dunia. Pada awal abad ke-19, penyakit cacar di Jawa menyebabkan tingginya angka kematian pada anak-anak, terutama di bawah usia 14 tahun mencapai 10%-30%.

Dari Sukarno hingga Orba

Pemberantasan penyakit menular pun dilakukan pada masa pemerintahan Sukarno dan Orde Baru. Di dalam buku Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia (2007) yang disusun tim Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL) Departemen Kesehatan (Dinkes) disebutkan, pada 1965 dibentuk Ditjen Krida Nirmala, sebagai unit pelaksana teknis bidang penyakit menular di bawah Depkes.

Ditjen Krida Nirmala bertugas di bidang penyakit dan permasalahannya, seperti malaria, cacar, tuberkolosis, kusta, kolera, diare, dan frambusia. Seiring waktu, Ditjen Krida Nirmala kemudian berubah menjadi Ditjen Pencegahan, Pembasmian, dan Pemberantasan Penyakit Menular (Ditjen P4M).

Upaya vaksinasi pun dilakukan pada masa pemerintahan Sukarno. Misalnya, kolera yang mewabah pada 1960-an ditangani dengan vaksinasi chotipa (cholera, typhus, dan parathypus).

Ilustrasi vaksinasi./Ilustrasi Pixabay.

Pada 1950-an, ditemukan vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG), yang bisa memberi kekebalan tubuh terhadap penyebab tuberkolosis. Saat itu, pemerintah menyatakan, vaksinasi BCG sebagai sebuah upaya preventif yang penting.

Ditjen P4M yang berubah nama menjadi Ditjen Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular (Ditjen P3M) baru benar-benar berfungsi pada awal Orde Baru. Ditjen ini memiliki tugas untuk memberantas penyakit yang bersumber dari hewan, penyakit menular langsung, epidemiologi, imunisasi, dan higienis sanitasi.

Saat era pembangunan lima tahun (Pelita I) pada 1969-1974, pemberantasan penyakit menular difokuskan untuk memutus rantai penularan. Menurut buku tersebut, cara yang dilakukan dengan menghilangkan sumber penyakit, mencegah adanya kontak dengan penyebab penyakit, serta memberi kekebalan kepada penduduk.

Pada Pelita I, fokus pemberantasan penyakit tuberkolosis adalah menurunkan risiko paparan. Pemberantasan dilakukan dengan cara memberikan vaksin BCG untuk semua anak berusia 0-14 tahun. Saat itu, vaksinasi mencakup 38 juta anak—Jawa dan Bali mencapai 80% dari target, daerah lainnya 51%.

Cacar, yang sudah menjadi masalah sejak masa kolonial pun teratasi usai Sardjito menemukan vaksin di sebuah laboratorium di Klaten, Jawa Tengah. Dengan ditemukannya vaksin, pada 1972 Indonesia berhasil membasmi penyakit itu. World Health Organization (WHO) pada 1974 menyatakan, Indonesia bebas cacar.

Minimalkan risiko

Zubairi menjelaskan, dalam situasi pandemi, WHO memperkenankan pembuatan dan penyediaan vaksin Covid-19. Di Indonesia, kata dia, lembaga yang memiliki otoritas perizinan peredaran vaksin adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

“Diperkirakan izin BPOM keluar paling cepat akhir Desember,” kata Zubairi.

Hingga kini, Zubairi menekankan, belum ada satu pun negara yang lolos pengujian vaksin untuk Covid-19. Zubairi menyebut, masing-masing tahapan uji klinis vaksin dibutuhkan jumlah relawan yang semakin besar. Uji coba klinis fase tiga, katanya, merupakan skala terbesar yang menjadi patokan berhasil atau tidaknya sebuah vaksin.

“Tidak boleh hanya di fase dua yang menjadi patokan karena skalanya kecil,” ucapnya.

Di samping harus melalui izin dari BPOM, Zubairi mengatakan, vaksinasi harus mempertimbangkan rekomendasi dari Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) dan Strategic Advisory Group of Experts on Immunization of the World Health Organization (SAGE WHO).

“Keamanan dan efektivitas itu yang menjadi keutamaan. Semoga program vaksinasi nanti bisa diterima baik oleh masyarakat dan berjalan lancar,” tuturnya.

Epidemiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo percaya kapabilitas dan netralitas kinerja BPOM dalam menentukan kelayakan vaksin.

“Apakah vaksin ini nanti diterima atau ditolak, bergantung keputusan BPOM,” kata Windhu saat dihubungi, Jumat (6/11).

“Jadi kita percayakan pada BPOM,” kata Windhu saat dihubungi.”

Windhu mengatakan, ukuran kelayakan utama sebuah vaksin adalah bila benefitnya lebih besar daripada kerugiannya. Intinya, kata dia, tingkat kemanjurannya harus tinggi. Selain itu, minim risiko. Ia mengingatkan, setiap pemberian vaksin selalu ada kejadian ikutan pascasuntik, di antaranya demam atau nyeri di bagian tubuh bekas suntikan.

Infografik kontroversi vaksin./Alinea.id/Bagus Priyo.

“Sepanjang itu ringan dan tak mengancam jiwa, vaksin boleh diberlakukan secara massal,” ujar Windhu.

“Jika kemanjurannya kecil, maka izin edar vaksin tak akan diberikan. Bahkan untuk penggunaan emergency pun tidak.”

Risiko menimbulkan kematian dari vaksin pun harus dicegah. Virolog, kata Windhu, memiliki peran penting dalam meneliti sampel-sampel vaksin yang diuji coba.

“Jangan sampai virus yang dimasukkan ke tubuh kita, malah membunuh kita,” ucapnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid