Bagi sebagian orang, tubuh bisa menjadi musuh dalam diam. Penyakit autoimun—sebuah kondisi ketika sistem imun justru menyerang jaringan sehat—bukan hanya menyebabkan kerusakan fisik, tapi juga menyisakan luka yang tak kasat mata: gangguan kesehatan mental.
Sebuah studi terbaru dari Universitas Edinburgh, Inggris, memunculkan kekhawatiran baru. Para peneliti menemukan bahwa penderita autoimun memiliki risiko dua kali lipat lebih besar mengalami gangguan kesehatan mental dibandingkan populasi umum. Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal ilmiah BMJ Mental Health, dan membuka ruang diskusi tentang pentingnya merawat mental, tidak hanya fisik, bagi para pasien autoimun.
Autoimun dan Luka yang Tak Terlihat
Ada enam penyakit autoimun yang diamati dalam studi ini, termasuk rheumatoid arthritis (radang sendi kronis), lupus (yang dapat menyerang ginjal hingga otak), dan penyakit radang usus. Semua kondisi tersebut memiliki satu kesamaan: sistem kekebalan tubuh menyerang tubuhnya sendiri, menyebabkan peradangan, rasa sakit kronis, hingga kerusakan organ.
Namun, di balik semua itu, ternyata ada beban lain yang kerap terabaikan—kesehatan mental.
“Secara keseluruhan, risiko gangguan suasana hati di antara pasien autoimun hampir dua kali lipat dari populasi umum,” tulis para peneliti.
Dalam studi yang melibatkan lebih dari 1,5 juta orang ini, sebanyak 37.808 di antaranya adalah penderita penyakit autoimun. Dari kelompok ini, sekitar 29 persen didiagnosis mengalami gangguan suasana hati seperti depresi atau kecemasan—angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan 18 persen pada populasi umum.
Perempuan Lebih Rentan
Yang menarik, studi ini juga menyoroti adanya perbedaan risiko berdasarkan jenis kelamin. Peneliti menemukan bahwa perempuan dengan kondisi autoimun lebih rentan mengalami gangguan suasana hati dibandingkan laki-laki. Sebanyak 32 persen perempuan dengan autoimun menunjukkan gejala gangguan afektif, sementara pada pria angkanya berada di 21 persen.
Bagi para ahli, ini bukan sekadar angka. Ini adalah peringatan bahwa pendekatan medis terhadap pasien autoimun perlu lebih menyeluruh—tidak cukup hanya mengobati gejala fisik, tapi juga memantau kondisi psikologis pasien secara aktif.
Antara Penemuan dan Harapan
Meski demikian, para peneliti menegaskan bahwa studi ini bersifat observasional. Artinya, belum bisa dikatakan bahwa autoimun menyebabkan gangguan mental secara langsung. Namun, temuan ini tetap penting sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan kebijakan kesehatan dan perencanaan perawatan pasien.
Di Indonesia, penyakit autoimun masih sering disalahpahami. Banyak penderita baru mendapatkan diagnosis setelah bertahun-tahun mengalami gejala yang membingungkan. Ditambah dengan minimnya dukungan psikososial, tak sedikit pasien yang akhirnya berjuang sendirian dalam senyap.
Penelitian ini menjadi pengingat bahwa tubuh dan pikiran tidak bisa dipisahkan. Merawat autoimun bukan hanya soal obat dan terapi fisik, tapi juga tentang menjaga semangat, mendengarkan cerita mereka, dan memastikan bahwa mereka tidak merasa sendirian.
Sebelum itu, deteksi dini juga merupakan langkah yang diperlukan agar penyakit autoimun bisa segera disikapi segera secara medis sehingga mencegah dampak-dampak buruk dari penyakit tersebut.
Direktur Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Dr. Nadia menegaskan lupus adalah penyakit yang dapat menyerang semua usia, dengan gejala umum berupa kelelahan ekstrem, nyeri sendi, ruam kulit, dan demam berkepanjangan. Penanganan yang cepat dan tepat menjadi kunci untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
“Lupus adalah penyakit yang sulit dikenali karena gejalanya bisa menyerupai penyakit lain. Deteksi dini akan membantu pengobatan lebih cepat dan mencegah komplikasi serius,” ujarnya.
Dr. Anna Ariane dari RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo menjelaskan beberapa manfaat deteksi dini lupus:
1. Meningkatkan harapan hidup dan kualitas hidup pasien.
2. Mencegah kerusakan organ seperti ginjal, jantung, dan paru-paru.
3. Mengurangi biaya pengobatan yang tinggi akibat komplikasi berat.
4. Meningkatkan produktivitas pasien agar tetap dapat bekerja dan beraktivitas normal.
5. Mengurangi flare-up lupus atau serangan penyakit berulang.
Dr. Anna juga menegaskan pentingnya pemeriksaan dini pada pasien dengan gejala seperti ruam wajah berbentuk kupu-kupu, nyeri sendi dan pembengkakan, kelelahan berat tanpa sebab jelas, sariawan berulang, sensitif terhadap sinar matahari, dan kelainan ginjal seperti proteinuria.
Jika ditemukan minimal dua gejala pada organ yang berbeda, pasien perlu segera dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut untuk memastikan diagnosis melalui pemeriksaan klinis dan laboratorium.(theweek,kemenkes)