close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi dosen. /Foto Pixabay
icon caption
Ilustrasi dosen. /Foto Pixabay
Peristiwa
Kamis, 22 Mei 2025 14:00

Curhat dosen yang terimpit tumpukan beban kerja: "Seperti menari di atas banyak panggung..."

Dosen di PTN rata-rata bekerja selama 69,64 jam dalam sepekan sepanjang 2024.
swipe

Setumpuk tugas administrasi struktural membuat Darmawan Purba kesulitan fokus pada tugas utama dosen, terutama membimbing mahasiswa dan riset. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung mengaku beban kerja dosen kini sudah tidak sepadan dengan gaji yang diperoleh. 

"Beban-beban yang sering muncul biasanya berkaitan dengan tumpukan kerja administratif dan teknis, yang kadang cukup memakan waktu dan energi. Hal-hal seperti pelaporan, pengisian sistem, hingga tugas-tugas struktural seringkali mengambil porsi cukup besar dari waktu yang idealnya bisa dialokasikan untuk riset atau pembinaan mahasiswa," kata Darmawan saat berbincang dengan Alinea.id, Senin (19/5). 

Sejak dua tahun terakhir, Kemendikbud berupaya mengintegrasikan beragam aplikasi untuk memudahkan para dosen memenuhi tugas-tugas administratif mereka. Namun, upaya itu belum sepenuhnya berhasil. 

Darmawan merasa beban administrasi yang ditanggung dosen masih cukup berat. Situasinya terasa lebih menyiksa saat semua beban datang bersamaan, tanpa ruang jeda. Tak ada waktu untuk meningkatkan kapasitas akademik. 

"Rasanya seperti harus menari di atas banyak panggung sekaligus, mulai dari menyusun modul (pengajaran), meneliti, membimbing, dan di saat yang sama tetap harus mengisi laporan dan menghadiri rapat," kata Darmawan. 

Tekanan dan beban dosen terpotret dari temuan Kompas yang dirilis belum lama ini. Dari survei yang melibatkan 36 responden dosen PTN di 23 provinsi periode pada 4-23 April 2025, Kompas mendapati rata-rata jam kerja dosen di PTN mencapai 69,64 jam dalam sepekan sepanjang 2024. 

Dari survei yang sama, terdapat 33% dosen PTN bekerja sebanyak 41-60 jam per minggu dan 28% dosen PTN di kelompok 61-80 jam per minggu. Ada pula 22% dosen PTN yang bekerja hingga 81-100 jam per minggu dan 11% bekerja di atas 100 jam per minggu.

Jika diperinci, rata-rata dosen menghabiskan waktu untuk mengajar hingga 20,71 jam per minggu, meneliti sekitar 16,68 jam per minggu, dan pengabdian masyarakat 9,54 jam per minggu. Dosen pun mengurus administrasi kampus hingga 11,43 jam per minggu serta bekerja sambilan 11,28 jam per minggu.

Dalam risetnya, Kompas juga menemukan jumlah dosen PTN naik sekitar 16% pada 2024 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun, kenaikan gaji pokok mereka cenderung stagnan, yakni hanya naik sekitar 5% setiap dua tahun. 

April lalu, pemerintah merilis Perpres No. 19 Tahun 2025 yang akan mengatur pemberian tunjangan kinerja kepada 31.066 dosen ASN. Sebelumnya, dosen yang berstatus sebagai ASN hanya menerima tunjangan profesi di luar gaji.

Darmawan berharap pemberian tukin tak hanya berbasis kepatuhan dosen dalam merampungkan beban kerja administratif. Perlu ada sistem evaluasi yang lebih mengutamakan kualitas subtansial dosen dan bukan kerja dosen yang bersifat formal. 

"Intinya, kami tetap menjalankan tugas ini sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan profesi. Tetapi, akan sangat baik jika ada ruang penyempurnaan dalam sistem, agar semangat akademik dosen bisa terus terjaga secara sehat dan produktif," kata Darmawan. 

Keresahan terkait beban kerja juga dirasakan dosen hukum Fakultas Syariah UIN Samarinda, Suwardi Sagama. Suwardi mengaku beban administrasi yang dia terima tidak kalah melelahkan jika dibandingkan dengan dosen PTN di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek). 

Sebagai pengajar dengan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), Suwardi mengaku berada dalam posisi dilematis. Pasalnya, tidak ada aturan naik kepangkatan jabatan fungsional supaya hidupnya lebih sejahtera. 

"Kalau isu dosen PPPK hari ini terkait tidak bisa naik jabatan fungsional karena belum ada aturan turunan PP (peraturan pemerintah) ASN menyoal naik pangkat bagi PPPK, termasuk dosen PPPK," kata Suwardi kepada Alinea.id. 

Nasib dosen berstatus PPPK, kata Suwardi, terasa lebih sengsara lantaran dituntut untuk bekerja sebagaimana dosen berstatus ASN. Selain mendidik mahasiswa, dosen PPK juga harus melakukan penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat sebagai tuntutan Tri Dharma perguruan tinggi.

"Begitu pula dengan kampus, ketika dosen PPPK tidak bisa naik pangkat, maka ini merugikan dalam penilaian akreditasi karena jabatan fungsional akan tetap sejak lulus formasi PPPK. Padahal, naiknya jabatan fungsional pada dosen mendukung peningkatan akreditasi perguruan tinggi," kata Suwardi.

Tuntutan untuk mendapatkan tukin juga diutarakan oleh kalangan dosen di perguruan tinggi swasta (PTS). Sebagaimana dosen berstatus PPPK, dosen di PTS juga kerap digaji rendah, bahkan ada yang di kisaran Rp500 ribu-Rp2 juta per bulan. 

Dalam sebuah diskusi di Idjen Talk, belum lama ini, mantan Rektor Universitas Islam Malang (Unisma) Maskuri Bakri mengatakan pemerintah juga perlu mempertimbangkan pemberian tukin bagi dosen swasta. Pasalnya, beban kerja mereka tak kalah berat jika dibandingkan dosen PTN. 

"Perpres nomor 19 Tahun 2025 tentang tukin dosen di PTN justru menimbulkan disparitas yang besar terkait kesejahteraan dosen di PTN dan PTS,” kata Maskuri. 

Hingga 2025, ada sebanyak 4.593 perguruan tinggi yang beroperasi di Indonesia. Dari angka itu, hanya sekitar 10% yang berstatus sebagai PTN. Sisanya merupakan kampus swasta. 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan