Harapan antibisa muncul dari pria yang sudah digigit ular 200 kali
Hari-hari setelah tragedi 11 September 2001 membekas dalam ingatan banyak orang. Namun, bagi Tim Friede, peristiwa itu menjadi pemicu keputusan yang sangat tidak lazim: ia turun ke ruang bawah tanah dan membiarkan dirinya digigit oleh dua ular paling mematikan di dunia.
Empat hari kemudian, ia terbangun dari koma.
"Saya tahu rasanya mati karena gigitan ular," ujarnya kepada AFP melalui panggilan video dari rumahnya di kota kecil Two Rivers, Wisconsin, Amerika Serikat.
Alih-alih trauma, pengalaman nyaris kehilangan nyawa itu justru memperkuat tekad Friede. Ia berjanji akan lebih berhati-hati — namun bukan untuk berhenti. Sejak tahun 2000 hingga 2018, pria yang dulunya bekerja sebagai mekanik truk ini telah disuntik bisa ular lebih dari 650 kali dan membiarkan tubuhnya digigit lebih dari 200 kali.
Motivasinya bukan untuk sensasi, tetapi demi sebuah tujuan yang bahkan terdengar mustahil: membangun kekebalan tubuh total terhadap bisa ular. Praktik ekstrem ini dikenal sebagai mithridatisme, teknik kuno yang nyaris tak ada lagi yang berani mencobanya.
Dari obsesif jadi inovator
Ketertarikan Friede pada ular dimulai sejak kecil. Pada usia lima tahun, ia pertama kali digigit oleh ular garter yang tidak berbisa. "Saya menangis dan lari," kenangnya. Tapi rasa takut itu tak bertahan lama. Ia mulai membawa pulang ular dan menyembunyikannya di dalam toples bekas acar.
Ibunya sempat mencarikan bantuan konseling. Namun, alih-alih menjauh, minatnya justru makin dalam — terutama setelah ia belajar cara "memerah" bisa ular di sebuah kelas sains.
Sebagian besar metode produksi antibisa modern masih mengandalkan cara tradisional: menyuntikkan dosis kecil bisa ke tubuh kuda, lalu mengekstrak antibodi dari darah hewan tersebut. Namun metode ini tidak sempurna. Antibodi kuda rentan menimbulkan efek samping serius pada manusia, termasuk syok anafilaksis.
“Saya berpikir, jika kuda bisa, kenapa saya — sebagai primata — tidak bisa?” ujar Friede.
Dengan tekad keras dan tubuh sebagai laboratorium hidup, ia mulai bereksperimen menggunakan racun dari ular paling mematikan di dunia, mulai dari kobra, taipan, mamba hitam, hingga ular derik. “Setiap kali, selalu ada rasa sakit,” ujarnya tenang.
Penolakan Ilmiah dan Harapan dari Sebuah Panggilan
Selama bertahun-tahun, komunitas ilmiah menolak menganggap serius penelitian swadaya Friede. Hingga pada 2017, seorang imunolog bernama Jacob Glanville — yang sebelumnya bekerja dalam pengembangan vaksin universal — menemukan video Friede yang sedang digigit ular.
“Saya sedang mencari peneliti yang secara tidak sengaja sering tergigit, dan saya menemukan seseorang yang justru secara sengaja melakukannya,” kata Glanville.
Ketika mereka pertama kali berbicara, Glanville mengutarakan niatnya dengan jujur: “Saya tahu ini aneh, tapi saya ingin sedikit darah Anda.”
Friede menjawab, “Saya sudah menunggu panggilan ini seumur hidup.”
Menuju Antibisa Universal
Kini, darah Friede menjadi pusat penelitian antibisa baru yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah Cell. Studi tersebut mengungkap bahwa dua antibodi dari tubuhnya, ditambah dengan senyawa obat bernama varespladib, mampu memberikan perlindungan penuh terhadap 13 dari 19 jenis bisa ular mematikan yang diuji.
Sisanya memberikan perlindungan sebagian — hasil yang menjanjikan bagi pengembangan antibisa universal.
Para peneliti menargetkan pembuatan koktail antibisa yang dapat melawan lebih banyak spesies, dengan rencana uji coba lanjutan pada anjing di Australia.
Timothy Jackson dari Unit Penelitian Racun Australia menyambut hasil ini dengan hati-hati. Ia mengakui kualitas imunologis penelitian tersebut, namun mempertanyakan apakah keterlibatan manusia seperti Friede benar-benar diperlukan, mengingat kini antibodi sintetis bisa dikembangkan di laboratorium.
Namun Glanville yakin, pendekatan yang digunakan perusahaannya, Centivax, bisa menghasilkan antibisa universal dalam bentuk injeksi cepat semacam EpiPen, dengan target produksi massal di India agar harganya terjangkau.
Pahlawan yang rindukan rasa sakit
Setelah bergabung dengan Centivax, Friede akhirnya berhenti menyuntikkan bisa ke tubuhnya pada 2018. Alasannya: untuk menghindari tuntutan hukum yang bisa membahayakan perusahaan.
Namun, semangatnya belum padam. “Saya bangga sudah memberikan sedikit perbedaan bagi dunia medis,” katanya. Bahkan, dengan nada rindu, ia menambahkan: “Saya berharap suatu hari bisa digigit ular lagi. Saya merindukannya.”
Dalam dunia yang menghindari bahaya, Tim Friede justru menyambutnya — dan dari situ, ia menemukan cara untuk menyelamatkan nyawa. (arabnews)


