close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Penenggelaman dua kapal ikan asing pelaku pencurian ikan, di Pelabuhan Perikanan Samudera Kotaraja Lampulo, Aceh, Kamis (18/3/2021)/Foto ANTARA.
icon caption
Penenggelaman dua kapal ikan asing pelaku pencurian ikan, di Pelabuhan Perikanan Samudera Kotaraja Lampulo, Aceh, Kamis (18/3/2021)/Foto ANTARA.
Peristiwa
Selasa, 10 Juni 2025 13:00

Kenapa kasus maling ikan di perairan Indonesia tak juga surut?

Teranyar, dua kapal asal Malaysia ditangkap KKP. Mereka mempekerjakan semua ABK asal Indonesia.
swipe

Praktik ilegal fishing atau penangkapan ikan ilegal masih terus marak. Pekan lalu, petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap dua kapal asing berbendera Malaysia di perairan Selat Malaka. Meskipun berbendera Malaysia, kapal diawaki anak buah kapal (ABK) asal Indonesia. 

Dalam tiga tahun terakhir, petugas Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan "menyetop" ratusan kapal penangkap ikan ilegal di perairan Indonesia. 

Pada 2022, misalnya, petugas PSDKP menangkap 165 kapal karena terlibat penangkapan ikan ilegal. Sebanyak 150  kapal merupakan kapal berbendera Indonesia. Setahun berselang, jumlah kapal yang ditangkap naik menjadi 212 kapal. Hingga Mei 2025, terdapat 34 kapal yang digulung PSDKP.

Filipina, Malaysia dan Vietnam tercatat sebagai negara-negara dengan kapal-kapal yang paling banyak terlibat penangkapan ikan ilegal di Indonesia. Dari 2023 hingga 2025 ini, sebanyak 28 kapal asal Filipina ditangkap PSDKP karena mencuri ikan. Malaysia di urutan kedua dengan 16 kapal dan Vietnam dengan 8 kapal.

Tren peningkatan penangkapan ikan ilegal tidak hanya dilakukan kapal-kapal asing, tetapi juga kapal lokal. Pada 2020, terungkap 35 kasus penangkapan ikan ilegal oleh kapal lokal--meningkat menjadi 116 kasus di 2021. Meski sempat turun menjadi 79 kasus pada 2022, jumlah kasus kembali naik menjadi 150 kasus pada 2023 dan 182 kasus pada 2024.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati membenarkan tren kenaikan kasus ilegal fishing. Mengutip data PSDKP KKP, ia menyebutkan ada 269 praktik illegal unreported and unregulated fishing (IUUF) pada 2023. 

Pada 2024, PSDKP menangkap 240 kapal pencuri ikan yang terlibat dalam praktik illegal fishing. Terjadi kenaikan signifikan jika dibandingkan 2022. Pada periode Januari-Juli 2022, KKP menangkap 83 kapal ikan yang melakukan praktik IUUF. 

Menurut Susan, jumlah kasus IUUF mulai naik sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur dan  Peraturan Menteri KKP Nomor 36 Tahun 2023 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan Di Zona Penangkapan Ikan Terukur dan Wilayah Pengelolaan Perikanan. 

Kedua regulasi itu dia anggap bermasalah. Susan merinci sejumlah poin, semisal pemberian kuota industri, masuknya penanaman modal asing (PMA) di zona 01 hingga 04, serta diberlakukannya transhipment (pemindahan muatan dari satu kapal ke kapal lainnya) di perairan Indonesia. 

Dalam PermenKP No. 36 Tahun 2023, alat tangkap cantrang memang dilarang. Namun, menurut Susan, para pelaku ilegal fishing mengakali regulasi dengan menggunakan jaring tarik berkantong. Walhasil, kebijakan larangan cantrang jadi tidak efektif. 

"Selain itu, minimnya pengawasan industri perikanan dalam penangkapan ikan oleh pemerintah dan tidak dilibatkannya nelayan tradisional sebagai aktor utama pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan menjadi celah yang selalu dimanfaatkan oleh pelaku IUUF," kata Susan kepada Alinea.id, Senin (9/6). 

Tren kenaikan kasus IUUF, lanjut Susan, juga tak lepas dari peran aktif pemerintah dalam mengesahkan peraturan-peraturan yang justru melegitimasi eksploitasi sumber daya perikanan di Indonesia. Dari para nelayan tradisional, Kiara rutin mendapat laporan mengenai kapal-kapal besar yang beraktivitas di wilayah perairan nelayan tradisional.

"Mulai dari Natuna hingga perairan Pulau Masalembu. Ini membuktikan ada yang salah dengan tata kelola perikanan di Indonesia, termasuk di antaranya kebijakan dan peraturan alur penangkapan ikan di WPPNRI (wilayan pengelolaan perikanan negara RI) dan peraturan tentang alat tangkap yang dilarang dan diperbolehkan di Indonesia serta minimnya pengawasan kapal perikanan," tutur Susan. 

Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan berpendapat naiknya jumlah kasus penangkapan kapal ikan ilegal bisa mengindikasikan dua hal. Pertama, itu merupakan bukti kinerja positif dari pemerintah memberantas ilegal fishing.

Di sisi lain, kenaikan kasus juga juga bisa jadi indikasi ketimpangan penindakan terhadap ilegal fishing. Pasalnya, jumlah kasus penangkapan kapal ikan ilegal berbendera lokal jauh lebih dominan ketimbang kapal penangkap ilegal berbendera asing.  

"Hal ini bisa jadi menunjukan fokus pengawasan dan penindakan yang lebih berorientasi ke dalam dibandingkan kepada kapal ikan asing. Mengapa hal tersebut terjadi?" kata Dani kepada Alinea.id, Senin (9/6).

Dani menduga kasus penangkapan kapal ikan ilegal berbendera asing jauh lebih sedikit karena terbatasnya kemampuan armada pengawasan. Aspek pengawasan terganjal anggaran karena prioritas kementerian dialihkan ke bidang lainnya. "Kapal-kapal ikan asing semakin leluasa menjarah kekayaan laut Indonesia," imbuh Dani. 

KKP, kata Dani, semestinya tak hanya "galak" terhadap kapal ikan lokal. Berkaca dari data yang dirilis KKP secara berkala, Dani meyakini banyak kapal ikan ilegal berbendera asing yang terus beroperasi di Indonesia. 

"Fakta bahwa efektifitas penangkapan kapal ikan asing menurun karena persoalan anggaran adalah realita. Namun, ditemukan juga sejumlah kasus pembiaran atas penindakan hukum KII (kapal ikan ilegal) yang melakukan aktivitas menggunakan alat tangkap ilegal," kata Dani.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan