close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Foto: Aljazeera
icon caption
Foto: Aljazeera
Peristiwa
Sabtu, 26 Juli 2025 18:05

Kisah para pengungsi di Dahiyeh yang terperangkap identitas

Meski kelelahan, keluarga ini belum siap meninggalkan Lebanon. Tawaran kerja di luar negeri pun mereka tolak.
swipe

Saat serangan Israel menghantam kawasan padat penduduk di selatan Beirut pada Oktober lalu, Fatima Kandeel, 43 tahun, kehilangan rumahnya. Ia bersama kedua putranya, Hassan (24) dan Hussein (20), terpaksa mengungsi ke rumah sang adik, Aida, di kawasan Dahiyeh.

Empat bulan kemudian, pada Maret, Fatima dan anak-anaknya akhirnya bisa menyewa sebuah apartemen kecil tak jauh dari tempat tinggal Aida. Di dalam ruang tamu yang minim perabotan itu, hanya ada dua kursi dan pipa shisha. Namun, bagi mereka, tempat ini adalah simbol harapan baru.

Di dinding tergantung dua foto: satu adalah potret pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, dan satu lagi adalah keponakan Fatima yang gugur sebagai pejuang Hizbullah dalam serangan udara Israel di Jnoub, Lebanon selatan.

Kenangan yang bertahan dari reruntuhan

Sebelumnya, mereka tinggal di Hay el-Selom—hanya 10 menit berjalan kaki dari apartemen sekarang—hingga rumah itu rata dengan tanah akibat serangan udara. Dari reruntuhan, putra-putra Fatima berhasil menyelamatkan dua lemari pakaian dan satu ranjang.

“Ini perabot paling penting di rumah,” kata Fatima sambil mengelus bagian lemari yang rusak. Ia bangga karena perabot itu bisa dipakai kembali setelah dipugar.

Selain itu, mereka juga menemukan boneka masa kecil Hassan dan beberapa buku milik Fatima. “Boneka ini selalu tidur di sampingnya saat kecil,” kenang Fatima sambil tersenyum penuh emosi. “Saya tidak bisa menyelamatkan banyak dari masa kecil mereka, tapi boneka ini... selamat dari perang.”

Cinta pada rumah yang tak lagi aman

Dari balkon, reruntuhan bangunan tetangga menjadi pemandangan sehari-hari—pengingat nyata tentang perang yang belum lama berlalu. Meski demikian, Fatima memilih untuk tetap tinggal.

“Saya cinta Dahiyeh. Orang-orang di sini baik. Ini rumah kami,” katanya.

Anaknya, Hussein, juga merasa nyaman di lingkungan itu, meski ia mengaku trauma akibat perang. Ia pernah mencoba terapi, namun belum merasa ada perubahan besar. Berbeda dengan sang ibu, Hussein terbuka untuk pindah, tapi terhalang mahalnya biaya hidup dan risiko diskriminasi terhadap keluarga Syiah di luar Dahiyeh.

Fatima sendiri sempat mengalami penghinaan saat mengungsi ke kawasan Jnah. Seorang pemilik toko melontarkan komentar sinis, menyebut pengungsi Syiah “kumuh” hanya karena mereka datang dengan sandal dan piyama. Peristiwa itu membuat Fatima tak ingin meninggalkan Dahiyeh lagi.

“Kalau perang datang lagi, apa yang akan kita ajarkan pada generasi berikutnya? Bahwa meninggalkan rumah itu boleh? Atau bahwa kita harus bertahan?” katanya.

Keluarga iman: Rindu rumah, tapi ingin pergi

Berbeda dengan Fatima, sang adik, Iman, 55 tahun, ingin meninggalkan Dahiyeh. Ia tinggal bersama suaminya, Ali, dan empat anak mereka: Hassan (25), Fatima (19), serta si kembar Mariam dan Marwa (16). Semua anak masih tidur di satu kamar kecil di rumah yang sederhana namun penuh tawa.

Saat perang berkecamuk, keluarga ini mengungsi ke Kayfoun, lalu ke Tripoli, dan bahkan sempat tinggal di Baghdad. Meski disambut hangat di Irak, Iman dan keluarganya tetap rindu tanah air.

“Tidak ada tempat yang lebih baik dari negeri sendiri,” ucap Iman. Tapi, Dahiyeh yang dulu akrab kini terasa semakin tidak aman baginya.

Iman sudah mencoba mencari tempat tinggal baru di Hazmieh, kawasan yang lebih aman dan dekat dengan saudaranya. Namun, ia menghadapi kendala sektarian.

“Banyak pemilik rumah di sana tak mau menyewakan kepada keluarga Syiah. Kalau pun bisa, harganya bisa dua kali lipat,” ujarnya.

Keteguhan vs keamanan

Putranya, Hassan, mengingat jelas hari pertama serangan Israel kembali terjadi di dekat rumah mereka pada 1 April. “Saya cuma ingin keluar dari sana,” katanya.

Meski kelelahan, keluarga ini belum siap meninggalkan Lebanon. Tawaran kerja di luar negeri pun mereka tolak.

Pasca-gencatan senjata, mereka masih belum menemukan tempat tinggal baru yang aman dan terjangkau. Perdebatan terus terjadi dalam keluarga: antara keinginan bertahan demi identitas dan sejarah, dan kebutuhan untuk melindungi anak-anak dari ancaman masa depan.

“Kalau hanya saya sendiri, saya pasti tetap di sini,” kata Iman pelan. “Tapi saya punya anak. Dan saya harus melindungi mereka.” (aljazeera)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan