Krisis ekonomi Indonesia bisa terjadi pada 2026 dan 2027
Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky menilai, kondisi terkini perekonomian Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Pemburukan kondisi diprakirakan masih berlanjut pada 2026. Bahkan, terjadi peningkatan risiko alami resesi pada semester dua dan pada 2027.
Kondisi makroekonomi yang dicermati tampak tidak membaik. Pertumbuhan ekonomi masih seperti pola normalnya satu dekade ini, tumbuh kisaran 5% dengan mengandalkan konsumsi rumah tangga. Inflasi masih terkendali, namun cukup tinggi pada komponen makanan. Meski tingkat pengangguran menurun, keadaan ketenagakerjaan secara umum memburuk.
"Pertumbuhan ekonomi kemungkinan masih kisaran 5%, namun berisiko turun hingga kisaran 2,5%. Fenyebabnya antara lain karena konsumsi rumah tangga terus menurun. Terutama disebabkan oleh pendapatan pekerja yang menurun, seiring dengan meningkatnya PHK dan informalisasi pekerjaan," kata dia dalam keterangan resminya.
Komponen Pembentukan Modal tetap Bruto (investasi) dan ekspor untuk mengkompensasinya, juga belum memperlihatkan petanda yang memadai. Keduanya hanya mampu tumbuh sesuai lintasan normalnya. Jika keduanya melambat, maka menambah risiko pertumbuhan ekonomi hanya 2,5%.
Kondisi tansaksi internasional Indonesia memburuk pada 2025 dan kemungkinan akan berlanjut pada 2026. Defisit Neraca Pembayaran Indonesia dan komponen Transaksi Finansial yang jarang terjadi telah dialami pada 2025, dan kemungkinan berlanjut pada 2026.
Dia juga menghawatirkan kondisi fiskal. Pendapatan, khususnya perpajakan sulit untuk ditingkatkan karena lesunya perekonomian. Sedangkan, ambisi belanja makin besar, karena berbagai program prioritas dan gemuknya birokrasi. Melebarnya defisit makin sulit dicegah, bermuara pada kebutuhan berutang yang makin besar.
"Padahal, beban utang pemerintah makin berat. Menilai utang pemerintah masih aman hanya dari rasionya atas PDB tidak memadai. Lebih tepat menilainya dari aspek beban pembayaran bunga dan pelunasan pokok. Debt service ratio telah lebih dari 40%, bahkan hanya bunga saja telah hampir 20%," terang dia.
Dia mengungkapkan kalau pertumbuhan kredit melambat pada 2025 dan kondisi bank umum sulit mendorongnya lebih cepat pada 2026. Kondisi perbankan ditandai oleh Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) yang tidak menurun signifikan, serta transmisi BI-rate ke SBDK yang berjalan terlampau lambat.
Di sisi lain, ruang kebijakan moneter Bank Indonesia tampak makin menyempit. Antara lain karena kepemilikan yang sudah terlampau besar atas Surat Berharga Negara.
Fakta memperlihatkan sebagian besar penduduk bergerombol tidak jauh dari garis kemiskinan, dan kelas menengah pun berkurang. Saat bersamaan, ketimpangan kekayaan finansial antar kelompok masyarakat meningkat. Faktor-faktor ini bisa memperluas risiko ekonomi ke sosial dan politik.
Secara umum, Bright Institute menilai ketahanan ekonomi Indonesia sedang pada level yang rendah, bahkan cenderung rapuh. Diindikasikan oleh kondisi makroekonomi yang lemah, ruang kebijakan fiskal yang sempit, dan kebijakan moneter yang tidak leluasa.
"Pelemahan rupiah pada 2025 bisa berlanjut pada 2026, bahkan berpotensi dengan volatilitas yang lebih tinggi. Hal itu terkait erat pula dengan peningkatan risiko keuangan global. Terutama karena perilaku industri keuangan nonbank, yang nilainya telah melampaui industri perbankan," kata dia.
Kondisi perekonomian dunia sendiri sedang menghadapi ancaman stagflasi yang serius, terutama beberapa negara maju. Amerika Serikat dan China masih menghadapi risiko perlambatan ekonomi, peningkatan pengangguran, serta inflasi yang relatif tinggi. Secara lebih khusus, ketidakpastian dinamika keuangan global mengarah pada risiko terjadinya semacam “crash” dengan skala yang kemungkinan setara atau lebih berat dari 2008.
Saat Wall Street Crash 2008, The Fed melakukan cetak uang dengan injeksi likuiditas. Diringi dengan berbagai kebijakan bersama Pemerintah, antara lain: politik inflasi rendah, penurunan harga energi, menyerap surat utang menopang ekspansi fiskal, mengurangi dana pengangguran, dan lain-lain.
"Dinamika Quantitative Easing (QE) berlangsung pada 2009-2011. QE dihentikan pada 2012, dan normalisasi neraca the Fed mulai dilaksanakan, antara lain dengan pengurangan US Treasury sejak 2020 sampai dengan awal Desember 2025. Hal ini berdampak besar pada likuiditas global," jelas dia.
Dampaknya untuk Indonesia terlihat pada Bank Indonesia yang terpaksa menyerap SBN yang dilepas asing. BI bahkan menerbitkan instrumen tambahan, yaitu SRBI pada pertengahan 2023.
Normalisasi neraca The Fed juga mendorong rebalancing portpolio hedge fund yang beli (long) emas sejak 2022. Mendorong Bank Sentral emerging market melakukan posisi long emas di Januari 2025, yang membuat harga emas terus naik.
Hingga kini, sinyal rebalancing dari emas ke cooper sebagai sinyal bergersernya alokasi safe heaven dialihkan ke cooper belum tampak. Sinyal stagflasi di akhir tahun 2024 berlanjut di akhir tahun 2025, harga emas tetap tinggi meski terjadi pembelian cooper.
Diprakirakan stagflasi berlanjut di 2026.
Kondisinya makin kompleks dengan tensi geopolitik akibat antara lain: kebijakan Trump, revolving US treasury dilalukan dengan yield yang tinggi; dan BOJ Jepang membalik arah kebijakan bunga tinggi. Faktor Jepang ini sangat berpengaruh pada likuiditas Kawasan Asia.
Menariknya, negara-negara BRICS secara umum termasuk teritorial berbunga tinggi dan tertekan likuiditas ketat tersebut. Contohnya: Brazil (15%), Rusia (16%), India (5,25%), Afsel (6,75%), China memang 3-3,5%, tetapi domestik saving-credit dan rezim devisa kontrol.
"Kombinasi ketahanan ekonomi yang relatif rapuh dan ketidakpastian keuangan global yang tinggi, seperti uraian tadi, membuat risiko Indonesia cukup tinggi. Terutama risiko kemampuan membayar beban utang dan risiko pembiayaan kembali (refinancing). Tidak mustahil, Indonesia akan mengalami gagal bayar sebagian kewajiban utangnya pada semester dua tahun 2026 atau semester satu 2027," papar dia.
Menghadapi tantangan demikian, sejauh ini Pemerintahan Prabowo tampak tidak bersiap. Tidak ada “sense of crisis”, dan bahkan kebijakan ekonomi Pemerintah masih mudah berubah. Ketidakjelasan arah kebijakan ini jika berlanjut pada 2026, maka menjadi faktor penambah risiko tersendiri.
Bagaimanapun, Insight Bright lebih merupakan “warning” agar semua pihak waspada, terutama otoritas ekonomi seperti Pemerintah dan Bank Indonesia. Insight bukan prakiraan akan terjadinya resesi, bahkan krisis. Mengingatkan bahwa hal itu bisa terjadi pada pertengahan 2026 atau 2027.


