Ragam bahaya saat TNI dibolehkan jadi penyidik kasus pidana
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP menemukan sejumlah poin bermasalah dalam draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Salah satunya ialah terkait pasal-pasal yang mengindikasikan memberikan kewenangan bagi personel TNI untuk menjadi penyidik di kasus pidana.
Indikasi adanya kewenangan itu tertera pada Pasal 7 ayat (5), Pasal 87 ayat (4), Pasal 92 ayat (4) draf RKUHP. Keberadaan pasal-pasal yang dianggap mengembalikan dwifungsi TNI itu diungkap koalisi dalam sebuah petisi di laman Change.org, Jumat (11/7) lalu. Saat ini, petisi sudah ditandatangani lebih dari 6.800 warganet.
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana menilai sistem hukum pidana di Indonesia rusak jika TNI diberikan kewenangan untuk menyidik kasus pidana. Pada era Reformasi,
TNI hanya ditugasi menjaga pertahanan dan kedaulatan NKRI. Sektor keamanan publik jadi ranah Polri.
"Jika disahkan akan sangat berbahaya. Ini mengembalikan praktik dwifungsi ABRI dan akan mengacaukan sistem peradilan pidana kita. Akan ada dualisme penyidikan yang berdampak pada tumpang tindih kewenangan, nantinya tidak ada jaminan kepastian hukum dan perlindungan HAM bagi masyarakat," kata Arif kepada Alinea.id, Selasa (15/7).
Pelibatan TNI sebagai penyidik kasus pidana, kata Arif, potensial menormalisasi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Pelanggaran HAM bisa terjadi dalam urusan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, penetapan tersangka.
"Selain itu, desain institusi TNI jelas bukan sebagai lembaga penegakan hukum, tapi institusi pertahanan. Desain ketatanegaraan kita menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara yang dididik untuk berperang, bukan menegakkan hukum dan hak asasi manusia," kata Arif.
Senada, Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra berpendapat indikasi melibatkan aparat TNI di urusan penyidikan menunjukkan buruknya kualitas penyusunan RKUHAP. Apalagi, pasal-pasal terkait itu bertentangan dengan ketentuan pada UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI (UU TNI) yang baru disahkan.
Pada beleid itu, menurut Ardi, tugas penegakan hukum hanya diamanatkan bagi TNI Angkatan Laut (AL) dan TNI Angkatan Udara (AU). Bahkan, kewanangan TNI AU pun diatur hanya terbatas pada penyelidikan, seperti tindakan pencegatan di udara.
"Dalam draf RKUHAP yang beredar, terutama Pasal 87 ayat (4) dan 92 ayat (4) yang mengatur tentang penangkapan dan penahanan oleh penyidik, pada versi DPR semula hanya mencantumkan frasa TNI Angkatan Laut. Namun, dalam DIM versi pemerintah frasa 'Angkatan Laut' tersebut dihapuskan," kata Ardi melalui keterangan tertulis, Selasa (15/7).
Menurut Ardi penghapusan frasa "Angkatan Laut" berpotensi menjadi alat legitimasi bagi TNI AD untuk terlibat aktif dalam melakukan penegakan hukum sebagai penyidik. Secara historis, keterlibatan TNI AD dalam urusan politik dan hukum pernah sangat powerful dan melampaui matra lain.
Ardi mencontohkan keterlibatan personel TNI AD dalam penangkapan secara illegal terhadap beberapa orang yang diduga terlibat dalam perdagangan narkoba di Bima, Nusa Tenggara Barat dan di Labuhanbatu, Sumatera Utara, belum lama ini. Penghapusan frasa ”Angkatan Laut” ini terindikasi kuat ingin melegalkan praktik-praktik semacam itu.
"Ini mirip dengan logika saat merevisi UU TNI, di mana revisi UU TNI dimaksudnya untuk melegalkan secara formal apa yang sudah dijalankan sebelumnya secara illegal, seperti penempatan prajurit TNI di berbagai jabatan sipil di luar UU Nomor 34 tahun 2004 (UU TNI sebelumnya)," kata Ardi.
Menurut Ardi, salah satu persoalan serius dalam penegakan hukum di Indonesia saat ini maraknya praktik penyiksaan dan kekerasan aparat terhadap tersangkat atau bahkan korban. Keterlibatan TNI bisa bikin persoalan itu tambah pelik dan semakin sulit diminimalisasi.
Guru besar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir menilai TNI semestinya tak boleh diberikan ruang untuk menjadi penyidik dalam kasus-kasus pidana umum. Personel TNI cukup diberi kewenanagan sebagai penyidik dalam kasus-kasus pidana yang melibatkan militer.
"Mendasarkan prinsip KUHAP lama yang dikenal dengan koneksitas, maka penyidik dari tentara hanya dapat menyidik tindak pidana yang dilakukan oleh tentara yang melakukan tindak pidana yang dilakukan dengan sipil untuk diajukan dalam pengadilan koneksitas," kata Mudzakkir kepada Alinea.id.
Mudzakkir tak setuju jika TNI diperbolehkan berperan dalam penanganan perkara di ranah sipil. "Saya tidak setuju karena dapat merusak mekanisme penegakan hukum pidana," jelas dia.


