Mengapa kematian Khamenei ditakuti Donald Trump?
Di tengah konflik yang memanas antara Israel dan Iran, militer Israel ternyata merencanakan operasi untuk membunuh pemimpin spiritual tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Namun, rencana itu ditolak oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Kepada Asssociated Press (AP), seorang pejabat Gedung Putih mengatakan militer Israel mengaku punya rencana kredibel untuk membunuh Khamenei. Rencana itu disampaikan kepada Trump. Gedung Putih menilai operasi membutuh Khamenei, entah itu berhasil atau gagal, potensial membuat konflik Iran-Israel meluas.
Ditanya mengenai rencana membunuh Khamenei dalam sebuah wawancara dengan Fox News Channel, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tak mau menjawab tegas. Ia juga tak mengakui bahwa rencana itu ditolak mentah-mentah oleh Gedung Putih.
"Tetapi, saya bisa bilang bahwa kita akan melakukan apa pun yang perlu kita lakukan. Saya pikir Amerika Serikat juga tahu apa yang bagus untuk Amerika Serikat," kata Netanyahu.
Militer Israel menyerang sejumlah instalasi militer dan fasilitas nuklir milik Iran, Jumat (13/6) lalu. Tak hanya menghancurkan sejumlah bangunan, serangan rudal Israel juga membunuh Panglima Garda Revolusi Iran (IRGC) Hossein Salami, Kepala Staf IGRC Mayjen Mohammed Bagheri, dan sejumlah ilmuwan nuklir Iran.
Tak lama setelah serangan rudal Israel reda, Khamenei menjanjikan serangan balasan. "Dengan serangan ini, rezim Zionis sedang menyiapkan nasib buruk bagi mereka sendiri, yang pasti akan mereka terima," ujar Khamenei.
Selama tiga hari, Israel dan Iran saling serang menggunakan rudal dan drone. Dari pihak Israel, belasan warga sipil tewas akibat serangan rudal. Dari pihak Iran, sebanyak lebih 200 orang tewas karena serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Israel.
Kini genap berusia 84 tahun, Khamenei terakhir kali muncul di ruang publik pada Oktober 2024. Ketika itu, Khamenei berceramah di depan ribuan pendukungnya yang berkumpul di sebuah masjid di Teheran. "Israel tidak akan bertahan lama lagi. Kita harus berani melawan musuh kita sembari memperkuat keyakinan kita," kata dia.
Beberapa hari sebelum ceramah itu, Israel baru saja membunuh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Hezbollah Hasan Nasrallah di Beirut, Lebanon. Kematian Nasrallah terasa personal bagi Khameini. Sang ulama telah mengenal Nasrallah selama beberapa dekade.
Kematian Salami juga pukulan telak bagi Khamenei. Panglima IRGC itu adalah salah satu orang kepercayaan Khamenei. Iran juga terjepit lantaran pertahanan udara mereka tak mampu serangan rudal dan misil dari Tel Aviv.
Belum lama ini, kekuatan politik Iran di Timur Tengah juga tergerus setelah rezim Bashar Al-Assad tumbang. Al-Assad adalah kawan seperjuangan Khameini melawan rezim Zionis Israel.
Khameini tak pernah dalam posisi sepelik ini.
Khameini lahir di Mashhad, sebuah kota di utara Iran. Ia mulai radikal pada awal 1960-an. Sebagai mahasiswa relijius di Qom, Khamenei banyak mendalami tradisi Islam Shiah dan terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran radikal para pemimpin relijius konservatif, Ayatollah Ruhollah Khomeini.
Ketika itu, pemimpin Iran Mohammad Reza Pahlavi meluncurkan program reformasi besar yang ditolak kalangan ulama konservatif. Pada akhir 1960-an, Khamenei kerap menjalankan misi untuk Khomeini yang sedang berada di pengasingan.
Selain dari para ulama, Khameini juga menyerap pengetahuan dari barat. Ia terkenal menyukai karya-karya literatur Leo Tolstoy, Victor Hugo dan John Steinbeck. Dia juga bertemu para pemikir-pemikir masyhur dari Arab, semisal tokoh Ikhwanul Muslimin, Sayyid Qutb.
Khamenei berulangkali dibui oleh aparat keamanan. Namun, pada 1978, Khameini sedang bebas dan ikut serta dalam unjuk rasa besar memprotes rezim Shah di Iran. Gelombang unjuk rasa itu memaksa Shah kabur dari Iran. Sebagai murid dan orang kepercayaan Khomeini, Khamenei ikut terangkat derajatnya di kalangan ulama.
Pada Juni 1981, Khamenei terluka parah karena serangan bom kelompok pemberontak di Teheran. Insiden itu membuat tangan kanannya tak bisa digerakkan. Dua bulan berselang, kelompok pemberontak yang sama membunuh Presiden Iran, Mohammad-Ali Rajai. Khamenei ditunjuk sebagai pengganti dan jadi presiden interim Iran hingga 8 tahun.
Penerus Khomeini
Ketika Khomeini meninggal pada 1989, Khamenei ditunjuk sebagai penerus. Pada era itu, Khamenei mengonsolidasi kekuatan politiknya. Ia menunjuk para loyalis untuk menguasai IGRC dan memperbaharui relasi dengan Hezbollah.
Selain Hezbollah, Iran juga membangun aliansi rezim Bashar Al-Assad, dan mensponsori sejumlah kelompok milisi di Timur Tengah, semisal Hamas di Palestina, Houthi di Yaman, dan kelompok-kelompok kecil di Irak dan Suriah.
Karim Sajjadpour, peneliti Carnegie Institution of America, mengatakan Khameini ialah salah satu orang dengan pengaruh politik paling kuat di Timur Tengah. Trump sekalipun bakal kesulitan menjinakkan Khamenei.
"Khamenei selalu menjadi persoalkan menyebalkan bagi Amerika Serikat selama 30 tahun memimpin. Trump juga belum tentu bisa menang melawan dia," kata Sajjadpour.
Terkait program nuklir Iran, sikap Khamenei tak pernah jelas. Khamenei skeptis terhadap kesepakatan kerja sama pengembangan nuklir antara Iran dan sejumlah negara pada 2015. Namun, ia tak pernah menunjukkan sikap oposisi terhadap kesepakatan itu.
Berkuasa selama lebih dari tiga dekade di Iran, era Khamenei disebut-sebut akan segera berakhir. Pembicaraan mengenai suksesor santer beredar di internal elite politik Iran. Apalagi, sang ulama besar terus sakit-sakitan.
Meski begitu, analis berpendapat pembunuhan berencana pada Khamenei bakal bikin Timur Tengah terbakar. Retaliasi terhadap Israel tak hanya bakal datang dari Iran saja, tetapi juga dari kelompok-kelompok paramiliter yang selama ini disokong Khameini.


