close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Foto: Ist
icon caption
Ilustrasi. Foto: Ist
Peristiwa
Selasa, 10 Juni 2025 21:09

Nasib tragis warga kampung dekat cagar alam harimau

“Macan tutul bukan pemangsa manusia. Mereka oportunis,” jelas Limaye.
swipe

Bulan Mei menjadi bulan yang kelam bagi warga distrik Chandrapur. Sebanyak 11 nyawa melayang akibat serangan harimau, menambah panjang daftar korban jiwa yang tahun ini saja telah mencapai 22 orang di negara bagian Maharashtra, India.

Chandrapur bukan daerah sembarangan. Ia merupakan rumah bagi Cagar Alam Harimau Tadoba-Andhari, salah satu benteng terakhir harimau Bengal di India. Namun, keberadaan sekitar 200 ekor harimau di wilayah ini kini justru menjadi ancaman bagi warga yang tinggal di sekitar pinggiran cagar alam.

Konflik antara manusia dan satwa liar di Maharashtra bukan perkara baru, tapi angkanya mencemaskan. Antara tahun 2021 hingga Mei 2025, sedikitnya 173 orang tewas akibat serangan hewan liar, 150 di antaranya disebabkan oleh harimau. Tahun 2022 menjadi yang terburuk, dengan 112 kematian manusia — hampir separuhnya terjadi di Chandrapur.

Data juga menunjukkan lonjakan korban luka. Dari 76 orang pada tahun 2021 menjadi 314 pada 2024. Tahun ini, hingga bulan Mei, sudah 129 kasus luka dilaporkan akibat serangan satwa.

Maharashtra tak hanya diganggu harimau. Negara bagian ini juga tercatat sebagai wilayah dengan serangan macan tutul paling fatal di India, dengan 113 kematian antara tahun 2017 hingga 2022.

Konflik berebut ruang
Menurut Sunil Limaye, mantan Kepala Konservator Hutan Wilayah Barat, persoalan ini tak sepenuhnya salah satwa liar.

“Konflik manusia-satwa bukan karena hewan, tetapi karena kita,” ujarnya. “Mereka hanya ingin ruang mereka kembali. Tapi ruang itu kini kita rebut.”

Limaye menjelaskan bahwa insiden kerap meningkat saat penduduk memasuki hutan pada bulan April dan Mei untuk mengumpulkan daun tendu dan mahua. Waktu itu bertepatan dengan jam aktif harimau — pagi dan senja.

Meski peringatan disampaikan setiap tahun, warga tetap masuk hutan. “Mereka membawa ternak, atau masuk untuk mencari hasil hutan tanpa memahami bahaya yang mengintai,” katanya.

Relokasi pun coba dijadikan solusi. Sejak Juli 2023, sebanyak 22 harimau dan macan tutul telah ditangkap dan dipindahkan ke lokasi seperti Suaka Kanhargaon, Kebun Binatang Gorewada, dan Pusat Perawatan Transit Chandrapur.

Namun, Limaye pesimistis. “Relokasi bukan solusi jangka panjang,” tegasnya.

Menurut pedoman Badan Konservasi Harimau Nasional (NTCA), hewan yang telah membunuh manusia harus segera dibius dan dipindahkan. Tapi menurut Limaye, itu hanya memindahkan masalah ke tempat lain.

“Hewan itu tidak kenal wilayah baru. Mereka takut, bingung, dan bisa saja menimbulkan konflik baru.”

Ketakutan yang menular
Ketakutan tak hanya menyelimuti Chandrapur. Di distrik Palghar, yang berbatasan dengan Gujarat, dua serangan macan tutul terjadi dalam satu pagi bulan Mei lalu. Seorang perempuan diserang saat memetik chikoo, dan 30 menit kemudian seorang pria disergap di ladang cabai. Keduanya selamat, meski luka parah.

Warga kini bekerja berkelompok, menghindari keluar sendiri di pagi atau sore hari.

Di desa Vanarwadi, Nashik, tragedi merenggut nyawa Payal Chavan (20), yang diserang macan tutul saat memotong rumput. Ia meninggal meski sempat dilarikan ke rumah sakit. Tahun sebelumnya, desa yang sama kehilangan seorang gadis remaja dengan cara serupa.

“Macan tutul bergerak senyap dan menyerang cepat. Sulit diprediksi,” kata Limaye.

Namun tidak semua kisah berakhir tragis. Di tengah padatnya Mumbai, pendekatan berbasis komunitas berhasil meredam konflik. Taman Nasional Sanjay Gandhi (SGNP), yang terletak di jantung kota, dulu kerap dilanda serangan macan tutul.

Namun sejak 2011, program Mumbaikars for SGNP yang digagas Limaye dan ahli satwa liar Dr Vidya Athreya, berhasil mengubah narasi.

“Kami tak bisa mendidik hewan, tapi bisa mengajari manusia,” ujar Limaye. Program ini mengedepankan penelitian, edukasi, dan perubahan perilaku.

Pendekatan ini bahkan diadopsi di wilayah lain seperti Uttarakhand dan Uttar Pradesh. Pesannya sederhana: hindari memelihara anjing liar yang menarik perhatian macan tutul, jaga kebersihan lingkungan agar tidak mengundang tikus dan babi — mangsa alami mereka.

“Macan tutul bukan pemangsa manusia. Mereka oportunis,” jelas Limaye. “Serangan pada manusia lebih sering karena kesalahan identifikasi atau pertahanan diri.”

Namun, untuk wilayah seperti Chandrapur, waktu terus berjalan sementara ketegangan kian menguat.

“Kesadaran itu penting, tapi yang lebih penting adalah penegakan hukum,” tegas Limaye. “Orang harus berhenti mengklaim lahan hutan. Ini bukan soal hewan liar. Mereka bukan liar — mereka kehilangan rumah.”

Pada akhirnya, baik harimau maupun macan tutul hanya ingin satu hal: ruang untuk hidup. Tapi jika manusia terus merambah, batas kesabaran alam pun bisa meledak.

“Pertanyaannya bukan apakah mereka bisa beradaptasi. Tapi berapa lama lagi kita bisa mempertahankan keseimbangan ini jika terus mengusik ruang yang menjadi hak mereka?” kata Limaye.(telegraphindia)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan