Setelah menimbang tak cukup lama mengenai perlu atau tidaknya Amerika Serikat (AS) terlibat dalam perang Iran-Israel, Presiden AS Donald Trump akhirnya membuat keputusan. Trump memerintahkan militer AS ikut-ikutan menyerang fasilitas pengembangan teknologi nuklir Iran.
Tanpa peringatan, pesawat tempur dan kapal selam AS menyerang tiga fasilitas nuklir Iran di Natanz, Isfahan dan Fordow, Minggu (22/6) lalu. Di ketiga area itu, rezim Iran membangun fasilitas pengayaan uranium sekitar 80 meter di bawah tanah.
Sebelumnya, Trump mengatakan dibutuhkan kisaran dua minggu bagi dia untuk merenungkan perlu atau tidaknya serangan terhadap Iran. Belum sepekan, Trump sudah menghajar Iran. Israel diduga menekan Trump untuk segera beraksi.
"Kerusakan parah melanda semua situs nuklir di Iran sebagaimana terlihat dalam citra satelit. Terminologi akuratnya adalah kehancuran total," tulis Trump di akun Truth Social miliknya.
Israel butuh militer AS segera terlibat dalam perang melawan Iran. Pasalnya, rudal dan misil yang diluncurkan Israel tak cukup kuat untuk menembus bungker-bungker di fasilitas nuklir Iran. Harapan satu-satunya ialah bom "bunker buster" seberat 13.600 kilogram milik militer AS.
Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei belum berkomentar soal serangan AS ke Iran. Namun, Khamenei sempat mewanti-wanti akan melancarkan balasan setimpal jika AS melibatkan diri dalam perang Iran-Israel.
Ian Parmeter, pakar Timur Tengah dari Australian National University, mengatakan setidaknya ada tiga skenario yang mungkin terjadi setelah AS terlibat dalam perang Iran-Israel. Pertama, Iran melancarkan serangan balik ke instalasi militer milik AS.
Respons seperti itu dijalankan Iran usai AS membunuh Panglima IGRC sebelumnya, Qassem Soleimani, pada Januari 2020. Iran meluncurkan serangkaian misil dan rudal ke dua pangkalan militer AS di Irak. Namun, serangan Iran hanya menciptakan sedikit kerusakan.
"Setelah serangan balasan itu, Iran mengatakan persoalannya selesai. Respons Iran terhadap serangan terbaru AS ini kemungkinan akan serupa," jelas Parmeter seperti dikutip dari The Conversation.
Ilustrasi peta fasilitas nuklir Iran. /Foto datawrapper
Skenario kedua, Iran kembali ke meja perundingan. Dalam skenario itu, Israel mengumumkan gencatan senjata sementara Iran dan AS bertemu untuk menegosiasikan ulang program nuklir Teheran. Itu hanya mungkin terjadi jika Khamenei "melunak".
"Persoalannnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mengatakan tidak akan menghentikan aksi militer Israel sebelum semua fasilitas nuklir Iran hancur," ujar Parmeter.
Skenario ketiga, AS membatasi keterlibatannya dalam perang Israel-Iran. Keterlibatan AS, sebagaimana direkam jajak pendapat The Economist dan YouGov yang dirilis pertengahan Juni lalu, merupakan kebijakan yang tak populer.
Hasil sigi itu menunjukkan sebanyak 60% warga AS menolak keterlibatan militer AS dalam konflik antara Israel dan Iran. Di kalangan kaum Republik, partainya Trump, sebanyak 53% responden menyatakan tak setuju dengan kebijakan itu. Hanya 16% warga AS yang mendukung langkah Trump menyerang Iran.
"Namun, jika serangan itu sukses mengakhiri perang, Trump kemungkinan akan diapresiasi mayoritas warga AS. Jika AS kembali menerjunkan bomber mereka atau ada serangan terhadap kepentingan AS di kawasan, akan ada reaksi yang lebih buruk terhadap Trump dari warga AS," jelas Parmeter.
Pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei. Official Khamenei website/Handout via REUTERS
Tak mungkin menang?
Kemampuan Iran untuk menyerang balik AS dan Israel masih jadi pertanyaan di kalangan analis. Data sejumlah lembaga menunjukkan stok misil balistik Iran terbatas. Pada awal perang, Iran disebut-sebut punya 2.000 misil yang mampu melintasi sejumlah negara dan mencapai teritori Israel.
Militer Iran diperkirakan sudah meluncurkan sekitar 400-700 misil balistik ke Israel. Di sisi lain, Israel juga dilaporkan telah menghancurkan sekitar sepertiga peluncur misil balistik di sejumlah pangkalan militer Iran.
Karim Sadjadpour, peneliti Carnegie Endowment of International Peace mengatakan Iran sedang dalam situasi terjepit. Rezim Bashar Al-Assad di Suriah, sekutu Iran di Timur Tengah, baru saja tumbang. Hezbollah--pasukan proxy Iran--juga melemah setelah Lebanon diserbu Israel.
Khamenei, kini berusia 86 tahun, juga baru saja kehilangan orang-orang kepercayaannya, termasuk di antaranya Panglima Garda Revolusi Iran (IRGC) Hossein Salami dan Kepala Staf IGRC Mayjen Mohammed Bagheri. Beberapa bulan lalu, Sekjen Hezbollah Hasan Nasrallah juga tewas karena serangan Israel.
"Dia (Khamenei) tak mengontrol pangkalan udaranya sendiri. Israel yang mengontrolnya. Tidak ada jalan keluar dari perang ini. Dia tak bisa memenangkan perang ini. Dia kalah dari segi militer, finansial, dan teknologi," kata Sadjadpour seperti dikutip dari CNN.