Respons campur aduk keturunan Iran di AS sikapi serangan ke Iran
Serangan udara Amerika Serikat ke Iran akhir pekan lalu tidak hanya memicu ketegangan di kawasan Timur Tengah, tetapi juga memunculkan ketegangan baru di tengah komunitas diaspora Iran di Amerika Serikat — khususnya di Los Angeles, rumah bagi komunitas keturunan Iran terbesar di negara itu.
Roozbeh Farahanipour melihat namanya muncul di surat kabar Iran, disertai imbalan untuk jasadnya. Saat itu, ia menyadari bahwa dirinya tak lagi aman, katanya.
Elham Yaghoubian, seorang aktivis mahasiswa di Iran, memiliki pengalaman serupa. Ia mendirikan partai bawah tanah yang menentang Republik Islam bersama Farahanipour, dan merasa sangat terancam ketika teman-teman dan rekan sesama aktivis ditangkap pada tahun 1999.
Keduanya meninggalkan Iran hampir 30 tahun yang lalu karena kekhawatiran terhadap keselamatan mereka. Kini mereka telah membangun kehidupan baru di Los Angeles — kota yang menjadi rumah bagi hampir 141.000 warga Amerika keturunan Iran, menurut Sensus AS. Di sana, komunitas keturunan Iran membentuk ikatan sosial yang erat.
Namun, meski keduanya menempuh jalan yang serupa dalam melarikan diri dan bermigrasi ke Amerika Serikat, Farahanipour dan Yaghoubian kini berbeda pendapat terkait serangan AS ke Iran pada Sabtu malam lalu.
Farahanipour, seorang pemilik restoran yang pernah dipenjara dan disiksa karena perannya sebagai pemimpin oposisi sebelum meninggalkan Iran pada tahun 2000, menyatakan penolakannya terhadap perang di kawasan. Ia tidak ingin melihat kawasan itu berubah menjadi “Afghanistan atau Irak” lainnya.
Sebaliknya, Yaghoubian — yang kini bekerja di sebuah perusahaan bahasa dan penerjemahan — justru mendukung serangan tersebut. Ia mengatakan bahwa serangan itu “menguntungkan” bagi Iran, Timur Tengah, dan dunia.
Serangan AS pada Sabtu menyebabkan Iran membalas pada Senin dengan meluncurkan serangan rudal terarah ke Pangkalan Udara Al Udeid milik AS di Qatar. Beberapa jam kemudian, Presiden Donald Trump mengumumkan tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Iran.
Menurut Farahanipour, serangan AS — yang dilakukan saat pemerintahan Trump berada di bawah tekanan besar untuk terlibat dalam konflik yang memanas di Timur Tengah — telah memecah komunitas keturunan Iran yang sebelumnya erat di Los Angeles.
Salah satu restoran milik Farahanipour terletak di Westwood Boulevard, dekat kampus UCLA, di area yang dikenal sebagai Persian Square. Kawasan ini dihuni banyak bisnis milik warga Iran — restoran, toko roti, dan toko buku — lengkap dengan papan nama berbahasa Inggris dan Persia.
Pada Minggu, hampir tiga dekade setelah namanya masuk dalam daftar eksekusi dan sehari setelah serangan AS ke Teheran, Farahanipour berdiri di luar restorannya bersama putranya yang masih kecil. Mereka mengenakan celana jins dan kaus polo biru yang serasi, sambil melambaikan bendera diaspora Iran.
Imigrasi dari Iran ke Amerika Serikat sudah dimulai sejak awal abad ke-20, dan meningkat tajam menjelang dan setelah Revolusi Islam tahun 1979. Menurut Pusat Studi Timur Dekat UCLA, lebih dari 50 persen imigran — termasuk Farahanipour dan Yaghoubian — tiba di AS setelah tahun 1994.
Banyak warga keturunan Persia menyebut kawasan Los Angeles sebagai “Tehrangeles” — gabungan dari kata Teheran dan Los Angeles — istilah yang juga digunakan oleh situs mahasiswa UCLA, Bruin Life.
Pada hari Minggu, sejumlah demonstran berkumpul di depan gedung federal di Westwood untuk memprotes keterlibatan AS dalam konflik tersebut. Mereka membawa spanduk bertuliskan “Tidak Ada Perang terhadap Iran” dan “Kami Tidak Akan Membiarkan Anda Menyeret Kami ke Dalam Perang Global.” Beberapa lainnya meneriakkan “Jangan Sentuh Iran” dan “Uang untuk Pekerjaan dan Pendidikan, Bukan untuk Perang dan Pendudukan.”
Menurut Yaghoubian, serangan AS baru-baru ini menyasar infrastruktur yang dimiliki Republik Islam. Serangan tersebut menghantam tiga lokasi nuklir utama di Iran: Fordow, Natanz, dan Isfahan.
“Infrastruktur, jalan, pabrik, gedung-gedung ini, semuanya dapat dibangun kembali. Tetapi yang tidak akan pernah dapat kita pulihkan adalah kehidupan semua pemuda dan pemudi yang telah kita hilangkan akibat rezim brutal setiap kali mereka bangkit untuk menuntut hak-hak dasar mereka,” ujarnya.
Yaghoubian mengakui bahwa perang bukan sesuatu yang diinginkan siapa pun. Namun, menurutnya, dari perang bisa muncul hal baik — berakhirnya rezim Iran. Serangan ini, katanya, adalah secercah harapan untuk masa depan yang lebih baik.
“Tidak ada negosiasi, tidak ada perdamaian yang akan mengakhiri perang ini. Hanya dengan menyingkirkan rezim ini dari Iran akan membawa perdamaian dan kemakmuran,” katanya.
Namun, Farahanipour tidak melihat serangan tersebut sebagai jalan menuju pembebasan Iran. Ia mendukung terbentuknya Iran yang sekuler melalui “penggulingan internal” Republik Islam oleh rakyat Iran sendiri. Menurutnya, Amerika Serikat tidak seharusnya ikut mendorong konflik ini lebih jauh.
“Membunuh orang-orang, baik di Iran, di Israel, orang Amerika, siapa pun, warga sipil atau siapa pun, mereka tetap saja mati. Itu bukanlah jawabannya,” tegasnya.(cnn)


