Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka wara-wiri mempromosikan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Saat menjadi pembicara di Binus University, BSD, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (2/5), putra sulung Presiden ke-7 RI Joko Widodo itu bahkan mengungkap kemungkinan AI bakal masuk ke kurikulum sekolah.
"Beberapa hari lalu, kita ratas dengan Pak Menteri Pendidikan juga. Nanti di tahun ajaran baru, kita mulai memasukkan kurikulum AI. Ada pelajaran AI di SD, SMP, SMA, SMK juga," ujar Gibran di hadapan para mahasiswa.
Sejak Maret lalu, Gibran mendorong agar AI masuk dalam kurikulum sekolah. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menyambut gagasan itu. Kementerian mengumumkan pelajaran coding serta AI akan mulai diajarkan di kelas 5 SD hingga SMA.
"Di negara-negara lain, pemerintahnya sudah mendorong anak-anak muda untuk menggunakan AI. Kita enggak boleh ketinggalan,” ujar Gibran dalam sebuah kesempatan.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi berpendapat materi AI memang sudah saat diselipkan dalam kurikulum sekolah. Tidak hanya mampu meningkatkan kecerdasan masyarakat, AI juga bisa mendongkrak perekonomian, mempermudah aktivitas sehari-hari serta melahirkan berbagai inovasi, termasuk di bidang seni, penelitian, dan teknologi.
Namun demikian, Heru mengingatkan agar materi tentang kecerdasan buatan diajarkan secara bertahap. Artinya, materi AI semestinya tidak wajib diberlakukan seragam di semua jenjang pendidikan.
“Kita harus melihat beban pembelajaran dan level pemahaman siswa. Tidak semua tingkatan bisa langsung diberikan pelajaran membuat aplikasi AI. Itu akan menjadi beban, terutama bagi anak-anak di tingkat Sekolah Dasar (SD),” ujar Heru kepada Alinea.id, belum lama ini.
Ia menegaskan masa SD seharusnya menjadi periode yang menyenangkan dan dipenuhi dengan kegiatan yang menggembirakan. Di banyak negara, pendidikan dasar lebih difokuskan pada permainan edukatif dan penanaman karakter, bukan pada pembelajaran teknis yang kompleks.
Oleh karena itu, alih-alih memberikan pelajaran teknis yang berat, siswa SD sebaiknya diberikan pemahaman dasar tentang A. "Misalnya, apa itu AI, bagaimana penggunaannya secara etis, serta apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan," imbuh dia.
Untuk jenjang sekolah menengah pertama (SMP), ia menyarankan pengenalan pemanfaatan AI secara sederhana dalam kegiatan pembelajaran. Adapun di tingkat SMA dan SMK, pembelajaran AI bisa lebih intensif dan teknis.
"Karena siswa di jenjang tersebut dinilai sudah lebih siap secara intelektual dan mental. Khusus untuk SMK, pelajaran AI dapat diarahkan untuk persiapan tugas-tugas praktik di dunia kerja," kata dia.
Ia juga menyoroti pentingnya kesiapan tenaga pengajar di bidang kecerdasan buatan. “Jangan sampai kurikulumnya ada, tapi gurunya tidak siap atau bahkan belum ada yang mampu mengajarkan. Ini penting dipikirkan karena AI adalah hal baru dan tidak semua guru saat ini memiliki kompetensi di bidang tersebut,” katanya.
Menurutnya, pemerintah sebaiknya tidak terburu-buru memasukkan AI ke dalam kurikulum secara nasional. Ia mengusulkan agar terlebih dahulu diluncurkan pilot project di beberapa sekolah pada jenjang SD, SMP, SMA, maupun SMK di satu provinsi sebagai uji coba. Dari situ, dapat dievaluasi metode pengajaran yang sesuai, kesiapan siswa, serta pelatihan untuk para guru.
“Kalau kita coba dulu di tingkat kecil, kita bisa lihat apa yang cocok, pembelajarannya seperti apa, dan siapa yang bisa mengajar. Kalau berhasil, kita bisa copy ke daerah lain. Tetapi, kalau langsung dijadikan kebijakan nasional tanpa kesiapan, dikhawatirkan justru tidak berjalan dan tidak bermanfaat,” kata dia.