Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang disahkan Februari lalu potensial membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak berwenang menggarap kasus-kasus dugaan korupsi dan suap yang melibatkan pegawai atau pejabat BUMN.
Setidaknya ada dua pasal yang menjadi sorotan, yakni Pasal 3X ayat (1) dan Pasal 9G. Kedua pasal itu menegaskan bahwa pegawai BUMN, anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Bunyi kedua pasal itu kontradiktif dengan isi Pasal 11 Ayat (1) UU KPK. Disebutkan pada pasal itu, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain serta/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar.
Anggota tim juru bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan KPK sedang mengkaji isi UU BUMN. Menurut Budi, KPK tak akan hanya menggunakan UU BUMN sebagai rujukan dalam menggarap kasus dugaan korupsi atau suap.
"Dalam melakukan kajian tersebut, KPK tentu juga akan melihat peraturan dan ketentuan lainnya, seperti KUHAP, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Keuangan Negara, dan sebagainya,” ujar Budi kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (5/4).
Menteri BUMN Erick Thohir membantah pasal-pasal baru di UU BUMN bakal membuat pegawai dan direksi BUMN kenal hukum. Ia menegaskan pimpinan atau pegawai BUMN yang terbukti terlibat kasus korupsi bisa tetap digarap KPK.
"Enggak usah ditanya. Kalau kasus korupsi mah, ya, tetap aja dipenjara. Enggak ada hubungannya," kata Erick kepada wartawan di Kementerian BUMN.
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman menduga pasal-pasal bermasalah di UU BUMN disiapkan untuk mengamankan jajaran direksi BUMN dan pimpinan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara Republik Indonesia, (BPI Danantara).
"Dalam proses penyusunannya, UU BUMN itu sangat kilat dan minim partisipasi. Akademisi yang dimintai pendapat juga banyak yang merasa diperalat. Intinya, ini memang undang-undang yang memang dihasilkan dari proses yang gelap, tidak transparan dan tidak akuntabel," kata Zaenur kepada Alinea.id, Selasa (6/5).
Tak dengan UU KPK, menurut Zaenur, pasal-pasal di UU BUMN itu juga berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN. Pada UU itu, komisaris dan direksi BUMN dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
Berkat pasal-pasal problematik itu, kini jajaran direksi atau komisaris BUMN juga terbebas dari kewajiban lapor Laporan Harta dan Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). "Padahal, kita tahu bahwa laporan LHKPN itu sangat penting sebagai instrumen pencegahan korupsi," imbuh dia.
Akibat ketentuan UU BUMN itu, menurut Zaenur, KPK kemungkinan tidak akan bisa menangani korupsi yang dilakukan oleh pejabat BPI Danantara dan BUMN. "Pasal 2 dan pasal 3 (UU KPK) sudah tidak berlaku untuk BUMN dan BPI Danantara," kata Zaenur.
Ketua Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) Orin Gusta Andini menduga pasal-pasal bermasalah di UU BUMN sengaja disiapkan oleh rezim yang berkuasa saat ini. Tujuannya untuk mengantisipasi direcoki penegak hukum saat hendak korupsi.
"Itu akal-akalan saja untuk menghindari pidana. Nanti harusnya ada yang menguji materiil UU BUMN ke MK (Mahkamah Konstitusi)," kata Orin kepada Alinea.id, Selasa (6/5).
Orin mengatakan sudah menjadi praktik yang lazim jika perangkat hukum direkayasa penguasa demi beragam kepentingan politik atau pribadi. Dalam banyak kasus, korupsi tidak hanya melibatkan penyelengara negara.
"Yang terjadi saat ini, hukum dijadikan modus yang didesain untuk mengebalkan mereka yang bertindak sebagai direksi BUMN," kata Orin.