sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dilema PKS mendongkrak suara

Di tengah upaya menggenjot perolehan suara, PKS diterpa isu 'pecah kubu', hingga terancam tak lolos parlementary threshold.

Annisa Saumi Kudus Purnomo Wahidin
Annisa Saumi | Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 20 Jul 2018 15:32 WIB
Dilema PKS mendongkrak suara

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mahfudz Siddiq menyebut sembilan pilihan cawapres yang diusung mereka saat ini telah mengerucut ke dua nama, yaitu Ahmad Heryawan dan Salim Segaf Al-jufri.

Mahfudz menilai PKS harus ngotot memajukan cawapres sebagai pasangan untuk koalisi mereka dengan Gerindra. “Saya ingin menggarisbawahi kenapa PKS harus ngotot, karena investasi sabarnya PKS ini panjang,” ungkap Mahfudz di Kawasan Cikini, Rabu (18/7).

Ia menyebut pada 2014, PKS telah sabar karena jatah posisi cawapres untuk koalisi telah diambil Partai Amanat Nasional (PAN). Setelah itu, saat pemilihan gubernur DKI Jakarta, PKS juga telah sabar membatalkan pencalonan Mardani Ali Sera sebagai calon Wakil Gubernur, mendampingi Sandiaga Uno, serta merelakan kursi itu jatuh pada Anies Baswedan. Pun PKS telah cukup bersabar di Pilkada daerah seperti di Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Mahfudz menilai, semakin cepat Prabowo Subianto memutuskan siapa cawapres yang bakal mendampinginya di pilpres besok, maka akan semakin baik untuk PKS. “Saya pikir kalau kita menunggu kepastian dari cawapresnya Jokowi, sangat mungkin itu adalah cara untuk Jokowi mengulur waktu. Kalau Gerindra dan PKS mengikuti alur itu, itu bisa menyulitkan posisi PKS,” keluhnya.

Menurutnya, jika Prabowo menetapkan cawapresnya bukan dari PKS dan memilih menunda hingga akhir pendaftaran, maka tak ubahnya seperti menyandera PKS.

“Kalau PKS hanya menunggu, PKS seperti orang yang tersandera kan. Menurut saya tak ada salahnya PKS membuka komunikasi dengan banyak pihak. Paling tidak mengetahui secara langsung dinamika, situasi, pikiran yang berkembang di banyak tokoh dan partai. Cuma itu tadi, jangan membiarkan diri sampai tersandera di ujung batas pendaftaran, karena itu sangat menyulitkan PKS,” ungkapnya.

Ia secara pribadi menilai, ada komitmen koalisi dengan Gerindra, lalu membatasi koalisi dengan partai lain. Jika Prabowo membuka komunikasi dengan partai-partai lain, ia menganggap tidak tabu bagi PKS untuk membuka komunikasi juga dengan partai lain.

Sudah saatnya, sambung Mahfudz, PKS mulai berpikir menetapkan cawapres untuk koalisi tanpa menunggu Jokowi mengumumkan siapa cawapresnya.

Sponsored

Terkait usulan Sohibul Iman dan Mardani Ali tentang pengarusutamaan Anies Baswedan dalam bursa cawapres pendamping Pabowo, menurutnya sejumlah kader justru tak mendukungnya. Ia menyebut, para kader kukuh menginginkan cawapres berasal dari kalangan PKS sendiri.

“Ya dulu kan PKS sama Gerindra 2017 sudah berkoalisi dan bersepakat menjadikan Anies Baswedan Gubernur Jakarta dan Alhamdulillah berhasil. Ya, masa belum tujuh bulan mau ditarik lagi untuk kontestasi lain. Kan apa kata dunia? Apa kata masyarakat pemilih di Indonesia kan?” tanyanya.

Dari pandangan Mahfudz, orang bisa menilai jika Gerindra dan PKS hanya bermain-main saja dengan jabatan publik, jika mengajukan Anies Baswedan sebagai cawapres. Ia menilai hal tersebut menyangkut kontrak sosial atau amanah yang tidak ditunaikan.

“Apakah kemenangan Anies-Sandi berkontribusi pada suara PKS di DKI? Jika melihat survei-survei, suara PKS di DKI setelah Pilgub kan tidak mengalami lonjakan,” tegasnya. Ia menambahkan, jika asosiasi Anies ke PKS saja tidak bisa mendongkrak suara PKS di DKI, maka untuk apa mengajukan cawapres yang berasal dari luar PKS.

Pengamat politik dari lembaga survei Kedai Kopi Hendri Satrio, melihat Prabowo yang terkesan tak menghargai kontrak politik dengan PKS karena ia tak mau kalah untuk kedua kalinya. Dari data survei yang dilakukan Kedai Kopi, elektabilitas Prabowo-Anies lebih tinggi daripada elektabilitas Prabowo-Aher atau Prabowo-Salim.

“Saya yakin PKS sangat ingin mendapatkan posisi Wapres karena ingin sekali dapat coattail effect,” ucap Hendri. Coattail effect yang dibicarakan Hendri tersebut diharapkan bisa mendongkrak perolehan suara PKS di pemilu.

“Melihat dari tagar #2019GantiPresiden yang digagas kader PKS Mardani Ali Sera saja, PKS tak mendapatkan pengaruh apa-apa,” kata Hendri. Dari hasil survei Kedai Kopi, masyarakat mengasosiasikan tagar #2019GantiPresiden justru dibuat oleh kelompok alumni gerakan 212 dan Gerindra.

Sementara itu, pengamat politik dari Vox Pol Pangi Syarwi Chaniago menilai, PKS mesti ngotot untuk mengajukan cawapres. “Jangan kasih tiket gratis. Prabowo saya pikir masih ragu apakah jika dipasangkan dengan Aher atau Salim ia bisa menang,” kata Pangi.

Perpecahan di tubuh PKS

Mahfudz Siddiq tak menampik adanya perpecahan di tubuh PKS. Mahfudz melihat salah satu penyebabnya dipicu oleh prosedur pencalegan yang diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat PKS.

“Ada surat edaran dari DPP yang mengharuskan setiap caleg menandatangani surat pengunduran bertanggal kosong. Bagi teman-teman yang melihat bahwa ini bertabrakan dengan prinsip demokrasi dan perundang-undangan mereka menolak, walaupun risikonya ada yang dicoret dari dalam caleg. Saya pikir sebagai sebuah partai, PKS harus mengelola perbedaan ini secara matang ya,” kata Mahfudz.

Ia melihat tidak salah juga jika orang-orang menilai terjadi perpecahan di tubuh PKS. “Melihat fakta banyak caleg yang dicoret, diubah nomornya, dapilnya, itu merupakan caleg yang dekat dengan Pak Anis Matta. Terkait hal itu, tidak ada penjelasan dari DPP PKS. Namun, orang tidak salah juga punya penilaian seperti itu,” katanya.

Perpecahan tersebut selain dipicu oleh pencalegan, juga dipicu oleh daftar sembilan tokoh capres/cawapres yang diputuskan Majelis Syuro. “Kalau persoalan Anies Matta awalnya ribut untuk persoalan kontestasi capres yang sembilan. Saya pikir ribut-ribut kontestasi capres sudah selesai ketika dikerucutkan menjadi dua nama. Walaupun ada yang bertanya juga kapan itu dan melalui forum apa dikerucutkan,” ungkapnya.

Namun, yang jelas, kata Mahfudz, Gerindra sudah menerima dua nama itu. Pimpinan PKS juga sudah membenarkan. “Ya sudah, tidak ada lagi gesekan-gesekan di dalam kontestasi PKS kan, dan tidak nama Pak Anis Matta dalam hal itu,” tukas Mahfudz.

Di sisi lain, PKS mulai mendengungkan nama Anies Baswedan sebagai cawapres. Mahfudz menolak ide itu, ia bahkan mengatakan pernah mengirimkan surat yang ditujukan pada Gubernur Jakarta tersebut untuk menyelesaikan amanahnya selama lima tahun.

Sementara itu, Pangi melihat tradisi habitus politik yang dibuat dan berkembang saat ini tidak perlu diteruskan. “Anies jangan ikut-ikut Jokowi yang meninggalkan Jakarta. Kalau jejak itu diikuti oleh Anies, maka itu nanti akan menjadi preseden buruk,” tukas Pangi.

Efek domino

Akibat kisruh di tubuh PKS ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terancam tak lolos ambang batas parlemen (parlementary threshold) 4%. Berdasarkan rilis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), elektabilitas PKS jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan. PKS meraih 2,3%, tepat di bawah posisi PAN sebesar 3,7%.

Merespons rilis tersebut, eks politisi PKS Fahri Hamzah membenarkan, kisruh di tubuh partai menjadi pemicu terjunnya angka elektabilitas. Apalagi lantaran kisruh itu, sejumlah kader memutuskan angkat koper. Konflik yang dimaksud Fahri, yakni silang opini antara Anis Matta dan Sohibul Iman.

"Ya jelas lah, enggak mungkin lah orang berantem begini kok, calegnya pada mundur," paparnya di DPR RI Senayan, Jakarta, Jumat (20/7).

Konflik yang dimaksud Fahri terkait perbedaan prinsip antara dua faksi: 'faksi keadilan' dan 'faksi sejahtera. Faksi pertama diisi orang tua yang konservatif, sedang faksi sejahtera disebut-sebut jadi tempat bercokolnya anak-anak muda pembaharu alias golongan "liberal" partai.

Faksi orang tua diwakili Sohibul Iman (Presiden PKS), Suripto (pernah aktif jadi anggota BIN), Salim Segaf Al-Jufri (Ketua Majelis Syuro sekarang), dan Hilmi Aminuddin (eks Ketua Majelis Syuro). Sementara faksi sebelah terdiri atas Anies Matta (mantan Presiden PKS periode 2013-2015), Fahri Hamzah (dulunya), Mahfudz Siddiq, dan lainnya.

Dua kelompok ini memang kerap bergesekan, dipicu silang pendapat soal pengelolaan partai, kaderisasi, dan ketaatan pada partai (Qiyadah). Ketaatan ini pula yang berujung pada pemecatan Fahri. Ia dianggap membangkang dari kebijakan partai, lantaran sering akrobat mengeluarkan opini yang berseberangan.

Sejumlah gesekan ini mencapai puncaknya saat pengurus partai memaksa caleg untuk mundur sebelum maju berlaga di pemilu.

"Bayangin aja orang ketemu bisa saja dicoret, dari tadinya nomor 1 ke nomor 2, ketemu saya dan Anis Matta yang tadinya nomor 1 bisa dicoret ke nomor 3, gimana coba. Ya banyak yang kabur lah orang-orangnya. Lah bagaimana anda mau daftar, tapi sudah diteken untuk mundur. Jadi wajar kalau enggak lolos parlementary threshold," jelasnya.

Namun, menurut pengamat politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin, PKS akan tetap lolos parlementary threshold 4%, karena PKS telah memiliki pengalaman di 2013. Tepatnya saat PKS goyah karena Luthfi Hasan Ishak ditangkap KPK atas tuduhan kasus suap impor sapi.

"Waktu itu PKS diprediksi tak akan lolos PT, tapi nyatanya badai tersebut masih membuat mereka eksis dan lolos ke Senayan," paparnya kepada Alinea.

Selain itu, menurut Ujang hasil survei LIPI justru akan menjadi evaluasi PKS untuk meningkatkan suaranya di pileg 2019 mendatang.

Meskipun demikian, Ujang juga tak memungkiri, konflik antara Fahri Hamzah dan PKS memang amat berpengaruh  terhadap stabilitas partai, sehingga lektibilitas PKS menurun.

"Konflik Fahri Hamzah dengan petinggi PKS memang merugikan PKS," pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid