close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kebebasan berpendapat yang dibungkam. /Foto Pexels
icon caption
Ilustrasi kebebasan berpendapat yang dibungkam. /Foto Pexels
Politik
Sabtu, 28 Juni 2025 14:03

Tren represi psikopolitik: Dari paket kepala babi hingga biawak hidup

Anggota Aliansi Mahasiswa Papua kembali jadi sasaran teror orang tak dikenal.
swipe

Serangkaian tindakan intimidasi kembali dirasakan mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dari orang tak dikenal. Kali ini, beragam serangan bernuansa teror dialami anggota AMP di Surabaya, Jawa Timur para periode 19-23 Juni 2025.

Jenis intimidasi bervariasi, mulai dari pemasangan poster yang isinya menuding AMP sebagai bagian dari Organisasi Papua Merdeka hingga pesan ancaman via WhatsApp. Yang paling mengagetkan ialah kiriman biawak hidup ke salah satu asrama yang dihuni anggota AMP.

Awal Juni lalu, intimidasi juga dirasakan dua kader AMP cabang Kota Bali, yakni Wemison Enembe dan Yuberthinus Gobay. Keduanya dikirimi paket berisi kepala babi yang telah membusuk. Serangan-serangan itu diduga berkaitan dengan aktivitas politik AMP menolak militerisme di Papua. 

Serangan serupa juga dirasakan kalangan aktivis. Akhir Mei lalu, aktivis lingkungan di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Delima Silalahi dikirimi paket berisi bangkai burung berlumuran darah. Paket itu ditemukan di kediamannya di kawasan Silangit, Tapanuli Utara. 

Paket bangkai burung itu diletakkan di atas meja di area terbuka yang biasa ia gunakan untuk menjamu tamu. Intimidasi diduga berkaitan dengan aksi protes Delima dan kawan-kawan menolak keberadaan PT Toba Pulp Lestari.

Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (Infid), Siti Khoirun Ni'mah, melihat tren teror terhadap aktivis dan kelompok mahasiswa kritis menggunakan bangkai hewan dan hewan hidup berkaitan dengan menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir.

Merujuk Economist Intelligence Unit (EIU) dan Freedom House, skor rata-rata demokrasi Indonesia turun dari 5,5 menjadi 5,1 sejak 2014. Indonesia mendapatkan status “demokrasi yang cacat” dan “sebagian bebas”. Regresi demokrasi ditandai dengan pelemahan institusi, meningkatnya represi terhadap aktivis, dan serangan terhadap kebebasan berpendapat.

Seiring itu, organisasi masyarakat sipil (OMS) kini rutin dilabeli sebagai “antek asing” dan lembaga yang hobi mengadu domba. Serangan terhadap pembela HAM kerap terjadi berbarengan dengan menurunnya kepercayaan terhadap institusi demokrasi, seperti penegak hukum, militer, dan polisi. 

"INFID mendorong negara menindak tegas pelaku terror baik berupa ancama fisik maupun psikis. Oleh karena itu, negara harus menegakkan hukum bagi pelaku terror dan memastikan penegakan hukum berjalan dengan baik. Negara harus menjalankan konstitusinya untuk melindungi segenap warga negara untuk berserikat dan berpendapat," kata Siti kepada Alinea.id, Kamis (26/6).

Menurut Siti, peran LSM dan masyarakt sipil sangat penting untuk menjaga agar rezim yang berkuasa tidak tergelincir ke dalam kubangan otoritarianisme. Ia menyarankan agar LSM-LSM dan kelompok mahasiswa berkonsolidasi untuk memperkuat diri menghadapi segala bentuk terror dan intimidasi. 

"Sejumlah momentum mencerminkan betapa krusialnya peran gerakan masyarakat sipil dalam menjaga demokrasi, seperti gerakan #SaveRajaAmpat yang membuat pemerintah mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) di Raja Ampat, Papua, kemudian gerakan peringatan darurat yang membatalkan UU Pilkada di 2024, hingga lahirnya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 2022," jelas dia. 

Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat  mengatakan teror dengan mengirim bangkai hewan atau hewan hidup merupakan cara lama yang bertujuan memberikan tekanan psikologis kepada kalangan aktivis. Teror psikologis semacam itu dianggap "lebih aman" ketimbang serangan fisik yang cenderung mudah diusut. 

"Ini bagian dari kekerasan simbolik atau dalam istilah lain disebut psikopolitik represi. Apa itu? Tujuannya adalah bukan hanya untuk melukai fisik, tetapi mengguncang ketahanan mental dan menggoyahkan basis resilensi mereka atau bahkan mempermalukan mereka dan mengintimidasi secara kolektif," kata Rakhmat kepada Alinea.id, Kamis (26/6). 

Rakhmat mencontohkan kasus kiriman paket kepala babi kepada redaksi Tempo yang sampai saat ini belum bisa diungkap Polda Metro Jaya. Pengiriman paket itu diduga merupakan serangan terhadap kebebasan pers. Itu juga menandakan demokrasi mengalami regresi dan menguatnya otoritarianisme rezim. 

"Ini adalah modus operandi yang mengarah pada otoritarianisme. Teror psikologis ini tidak berdiri sendiri. Kenapa teror psikologis masih digunakan? Itu menunjukan ada efektivitas terhadap (para target). Represif, tetapi tidak secara langsung, yaitu dengan menciptakan suasana teror," kata Rakhmat.  

Rakhmat menilai teror psikologis menggunakan bangkai hewan dan serangan sejenis masih akan terus marak. Ia menduga hal itu sebagai bagian dari skenario sistematis mengebiri gerakan masyarakat sipil. "Secara kritis, bisa dipahami teror psikologis itu bukan peristiwa yang memang terisolir," imbuhnya. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan