Masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) diperebutkan Badan Legislasi (Baleg) dan Komisi II. Kedua lembaga itu merasa berhak membahas RUU itu.
Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyebut Baleg punya hak membahas RUU Pemilu lantaran RUU diusulkan masuk Prolegnas 2025 oleh Baleg. Komisi II, ia klaim, bakal fokus membahas RUU tentang Aparatur Sipil Negara.
"Kalau mau diubah (pembahasannya) ke Komisi II, harus rapat dulu dengan pemerintah untuk perubahan prolegnas," tutur Doli kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, pertengahan April lalu.
Namun, pernyataan Doli dibantah oleh Wakil Ketua Komisi II Aria Bima. Menurut Aria, Komisi II sudah bersurat pada pimpinan DPR agar RUU Pemilu dikembalikan pembahasannya ke komisi yang tepat.
”Kalau nanti di Baleg, mohon maaf, ya, nanti akan terputus kinerja pengawasan dengan proses perbaikan di dalam Undang-Undang Pemilu, dan (UU Politik), terkait ormas, dan lainnya,” ujar politikus PDI-Perjuangan itu.
Pembahasan RUU Pemilu lazimnya dipegang Komisi II lantaran pihak-pihak terkait kepemiluan, semisal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI merupakan mitra kerja Komisi II.
Jika tak dikembalikan ke Komisi II, Aria mengusulkan agar DPR membentuk panitia khusus (pansus) untuk membahas RUU Pemilu. Dengan begitu, Baleg dan Komisi II bisa mengirimkan orang-orang yang kompeten untuk membahasnya.
"Yang paham dan senang undang-undang ini enggak banyak di DPR. Orangnya juga itu-itu saja. Secara khusus, terbagi dengan berbagai kompleksitas. Ada yang ideologis, akademis, dan kepentingan,” jelas Aria.
Kepada Alinea.id, anggota Komisi II DPR Deddy Sitorus mengungkapkan belum ada keputusan dari pimpinan DPR terkait siapa yang bakal membahas RUU Pemilu. Namun, ia menegaskan pemilu merupakan bidang yang semestinya dipegang Komisi II.
"Selain itu, setahu saya (RUU Pemilu) baru akan dibahas tahun depan dan besar kemungkinan dibahas di Komisi II," kata Deddy.
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Neni Nur Hayati berharap RUU Pemilu tak dibahas di Baleg. Selain tak berwenang membuat UU, ia juga khawatir pembahasan di Baleg sarat kepentingan politik.
Neni berkaca pada pembahasan RUU Pilkada yang digelar kilat oleh Baleg pada Agustus 2024. Ketika itu, RUU Pilkada batal disahkan setelah diprotes keras oleh publik. Poin-poin revisi dianggap kental kepentingan politik.
"Jika dibahas di Baleg, RUU Pemilu menjadi alat politis dan transaksional untuk menguntungkan segelintir elite dan kepentingan kelompok. Apalagi, sudah menguat narasi pilkada dikembalikan ke DPRD," kata Neni kepada Alinea.id, Selasa (29/4).
Revisi UU Pemilu, lanjut Neni, akan lebih tepat jika dibahas oleh pansus. Dengan begitu, setiap fraksi di DPR bisa terlibat dalam pembahasan.
"Jadi, dibahasnya bukan di Baleg atau Komisi II, tetapi melalui pansus dimana setiap fraksi mengirimkan anggotanya yang dianggap memiliki kapasitas, kapabilitas, serta pengalaman untuk membahasnya," kata Neni.
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (28/4) lalu, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari mengingatkan agar RUU Pemilu segera dibahas. Ia menyinggung penyelenggaraan Pemilu 2024 yang penuh masalah.
Lebih jauh, Feri mengatakan setidaknya ada empat aspek krusial yang perlu dibahas dalam RUU itu, yakni terkait penyelenggara pemilu, sistem pemilu, keselamatan pemilu, dan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu.
"Kalau bisa, pembahasan selesai di 2025. Masyarakat sipil sudah punya naskah akademik dan usulan revisinya. Jadi, tinggal kemauan dari parlemen saja," kata Ferry.