close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden dan Wakil Presiden RI Jokowi dan Jusuf Kalla./ Antarafoto
icon caption
Presiden dan Wakil Presiden RI Jokowi dan Jusuf Kalla./ Antarafoto
Politik
Rabu, 25 Juli 2018 10:38

Uji materi Perindo bawa Indonesia balik ke Orba

Kekuasaan tak boleh jadi candu. Itu harus dibatasi supaya ruang tirani seperti era Soeharto tak muncul lagi di masa kini.
swipe

Para relawan Jokowi yang terdiri dari Seknas Jokowi, Bara JP, Satu Indonesia, Relawan Buruh Sahabat Jokowi, Komunitas APT, Almisbat, dan Projo tak setuju dengan peninjauan kembali Partai Perindo ke Mahkamah Konstitusi, tentang Pasal 169 huruf (n) Undang-undang Pemilu 2017. Jika peninjauan tersebut gol, maka kans Jusuf Kalla sebagai wapres Jokowi kedua kalinya kian terbuka.

Menurut anggota relawan Golkar Jokowi (Gojo) Rizal Mallarangeng, apabila MK mengabulkan tuntutan tersebut, maka akan menimbulkan ketidakstabilan di ranah kekuasaan.

"Kita harus ingat Indonesia itu negara besar. Kita punya 34 gubernur, 416 bupati, ini semuanya dibatasi dua kali. Jangan kasih celah," paparnya dalam konferensi pers "Menjaga Konstitusi" di DPD Partai Golkar, Cikini, Jakarta, Selasa (24/7).

Selain memicu ketidakstabilan, hal itu juga bakal mencederai semangat reformasi ikhwal pembatasan kekuasaan, yang diusung para aktivis pro-demokrasi silam. Semangat para aktivis di era Orde Baru (orba) itu, yakni mencegah kekuasaan dinikmati segelintir orang dalam tempo yang panjang. 

"Jangan sampai kekuasaan akhirnya menjadi candu, makanya dibatasi, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut. Sebab, pascareformasi, penggalan kalimat sesudahnya hanya dipilih sekali lagi," jelasnya.

Dengan pertimbangan tersebut, Rizal dan relawan Jokowi lainya mendorong majelis Hakim MK untuk tidak balik badan, mengembalikan sejarah yang kelam seperti era Soeharto.

Rizal sendiri tak mempermasalahkan posisi JK sebagai pihak terkait di gugatan itu. Ia hanya mengkritisi persoalan konstitusi, bukan politisi.

Di sisi lain, pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Oce Madril menjelaskan, pembatasan masa jabatan pemimpin nasional adalah buah gerakan reformasi untuk mencegah kemunculan tirani. Pasalnya, apabila kekuasan terlalu kuat, maka akan muncul ekses-ekses lainnya.

Di era Soeharto, sambungnya, UUD 1945 memang belum mengatur frekuensi berapa kali boleh menjabat. "Orba adalah contoh yang konkret periode lima tahun bisa jadi 30 tahun berkuasa, berkali-kali dan berturut-turut. Kita harus punya pemahaman yang sama kenapa pembatasan itu perlu dilakukan," tuturnya lagi.

Secara sosiologis, imbuhnya, Pasal 7 UUD 1945 yang menjadi dasar penetapan kekuasaan RI-1 dan 2 punya akar yang panjang, sehingga (mestinya) penafsiran tersebut tidak dibuat sumir. Presiden dan wapres dalam aturan itu menjabat selama lima tahun, dengan alasan penyelewengan kekuasaan. Namun, ternyata periodisasi lima atau enam tahun saja tidak cukup. Lalu frekuensi berapa kali boleh menjabat masuk dalam klausul berikutnya.

Syahwat politik

Banjir penolakan terhadap gugatan Perindo ini juga datang dari sejumlah pihak di luar relawan Jokowi. Pengajar politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun dan kuasa hukumnya Ahmad Wakil Kamal menyebut, langkah Perindo ini telah menodai semangat perubahan dan reformasi yang diperjuangkan aktivis ‘98.

Senada dengan Oce Madril, pria yang akrab disapa Ubed itu memaparkan, salah satu kualitas demokrasi bisa dilihat dari pembatasan masa jabatan pemimpin. Jika hal seprinsipil itu tak bisa diatur, ujarnya, maka otoritarianisme, diktatorisme, dan kekerasan politik akan kian menemukan tempat.

“Sebetulnya spirit (pengajuan penolakan Judicial Review) adalah ketika Perindo memperkarakan ini. Kami sudah memantau, tiba tiba muncul pihak terkait. Kami jadi heran, kok pihak terkaitnya wapres,” kritik Ubed.

Mengamini Ubed, Ahmad Wakil Kamal juga cemas, jika gugatan itu dikabulkan, Jokowi yang telah selesai dua periode akan minta tafsir ulang lagi. “Ini bahaya, syahwat politiknya sangat luar biasa. Ini saya kira, Pak JK itu konsultan hukum dan politiknya enggak jalan,” kata Kamal.

Ia menyarankan, JK harusnya bisa memberi teladan bagi bangsa ini. “Tak perlu lah datang ke sini seolah-olah dia punya syahwat politik pingin nyalon lagi, kan begitu. Jadi sangat tidak layak (memposisikan diri) sebagai pihak terkait. Sudah cabut saja lah,” imbuh Kamal.

Ia menduga Istana juga ikut mendorong upaya peninjauan kembali pasal UU Pemilu ini. Jika Prabowo ingin berperan lebih, tukasnya, ia mestinya bisa mengajukan diri sebagai cawapres, tanpa melanggar konstitusi.

“Harusnya bisa nyapres kan, tapi kenapa mau jadi wakil presiden lagi. Saya kira jangan sampai elit politik ini melakukan tindakan yang kemudian menimbulkan tafsir bahwa ini adalah politik pragmatis,” imbuh Ubed.

Di sisi lain, JK mengaku, keterlibatannya sebagai pihak terkait dalam uji materi UU tersebut, karena ada dorongan-dorongan dari berbagai pihak kepada dirinya untuk menjadi cawapres 2019. Khususnya terkait dengan keberlanjutan dan stabilitas pemerintahan di masa datang.

"Saya sendiri secara pribadi telah menyatakan untuk istirahat dan kita kasih yang muda-muda. Namun, perkembangan yang lain di luar kepentingan pribadi saya dan juga perkembangan di pemerintahan yang membutuhkan suatu keberlanjutan, untuk stabilitas lebih lanjut sehingga banyak pembicaraan-pembicaraan awal yang kemudian meminta saya tersebut, tetapi ya tentu sangat tergantung penafsiran dari MK," kata JK.

JK mengatakan, langkah untuk menjadi pihak terkait dalam uji materi di MK tersebut telah dibicarakan dengan Presiden Joko Widodo.

"Dan tentu hal ini saya bicarakan dengan Pak Jokowi sendiri sebagaimana sudah disampaikan oleh Juru Bicara Presiden, itu bukan sendirian saya bicarakan hal tersebut, baru saya ikut serta dalam hal ini, bukan saya sendiri. Itu juga sebelumnya ada pembicaraan-pembicaraan awal, bagaimana kelanjutan pemerintahan ini untuk lebih berhasil," tuturnya.

Dia menyampaikan upaya yang diambil tersebut demi kepentingan yang lebih besar. Untuk itu, dirinya mengorbankan waktu untuk istirahat dan pensiun yang sebelumnya dia inginkan. Jadi alih-alih sekadar syahwat politik, JK mengoreksinya sebagai harapan untuk stabilitas negara.

img
Annisa Saumi
Reporter
img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Berita Terkait

Bagikan :
×
cari
bagikan