Kontroversi pekerja outsourcing dan formula upah di Perppu Cipta Kerja

Formula pengupahan dan soal pekerja outsourcing di Perppu Cipta Kerja diprotes buruh dan pengusaha. Kemenaker mengklaim akomodatif.

Ilustrasi. Foto Pixabay.

Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti UU Nomor 11 Tahun 2020 menuai perdebatan. Terutama dalam klaster ketenagakerjaan. Selain soal hari libur, kontroversi terjadi pada formula pengupahan dan pekerja alih daya (outsourcing). Selain organisasi buruh, protes juga dari pengusaha.

Soal pengupahan, Perppu Cipta Kerja menggunakan formula akumulasi dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Sementara di UU Nomor 11 Tahun 2020 memakai formula pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, formula baru memberatkan dunia usaha, terutama yang padat karya.

Dia menyangsikan tujuan perubahan variabel itu bisa mendorong daya beli warga. Bagi Hariyadi, inflasi tidak bisa dijadikan patokan kenaikan UMR karena inflasi tiap provinsi berbeda. Dia berharap aturan turunan dari Perppu No 2/2022 bisa mendorong upah di daerah yang tertinggal dari yang seharusnya dan menahan laju upah di daerah yang naik tidak terkendali.

Organisasi buruh pun mempersoalkan formula pengupahan. Bagi Presiden Partai Buruh Said Iqbal, ada empat persoalan soal pengupahan di Perppu Cipta Kerja. Salah satunya soal formula pengupahan yang tidak jelas.

"Mestinya cukup berbunyi ‘kenaikan upah minimum didasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi’. Tidak perlu indeks tertentu," kata Said.