UU ITE diskriminatif terhadap perempuan

Komnas HAM dan Komnas Perempuan mendorong pemerintah merevisi UU ITE karena kekerasan berbasis siber naik signifikan dan diskriminatif terha

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani (kiri). Foto Antara/Dhoni Setiawan

Komnas HAM dan Komnas Perempuan mendorong Tim Pengkaji Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) melakukan revisi. Alasannya, pengaduan kekerasan berbasis siber naik hingga tiga kali lipat pada 2020 dan cenderung diskriminatif terhadap perempuan.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menyatakan, banyak pengaduan menggunakan UU ITE, seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, dan korban eksploitasi seksual.

"Dalam kasus korban eksploitasi seksual dan pembalasan melalui penyebarluasan materi bermuatan seksual, di mana korban menjadi salah satu subjek, UU ITE dan UU Pornografi paling banyak di gunakan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (18/3).

"Sementara untuk kasus KDRT ataupun kekerasan seksual lainnya, di mana korban menyampaikan pengalamannya ataupun kekesalannya melalui ruang siber. Semua dipukul rata menggunakan UU ITE," sambungnya.

Andy juga berpendapat, sejumlah pasal dalam UU ITE bersifat sumir karena tidak memuat kemudahan khusus bagi perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan. Namun, justru menyebabkan perempuan rentan dikriminalisasi, seperti Pasla 27 ayat (1) tentang  kesusilaan, Pasal 27 ayat (3) soal penghinaan atau pencemaran nama baik, serta Pasal 29 mengenai ancaman kekerasan/menakut-nakuti secara pribadi. 
"Frasa-frasa di dalam sejumlah pasal dalam UU ITE bersifat sangat sumir. Ini sudah bolak-balik dipermasalahkan," jelasnya.