Lebih dari sekadar pecitarasa, sambal disebut sebagai alat hukum di komunitas

Keberadaaan sambal sebagai bagian dari budaya Indonesia, berfungsi sebagai alat hukum di beberapa komunitas warga kuno.

Penggunaan lema nama “cabai” dan kata sifat “pedas”, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menjaga dengan baik warisan leluhur.Alinea/Chevy Azmi

Sambal telah menjadi pelengkap makanan yang sehari-hari masyarakat Indonesia saat ini, rupanya cabai bukan hanya sekedar bahan pokok pecitarasa tapi juga alat hukum di sejumlah komunitas warga.  

Fadly Rahman dalam buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016) menyebutkan, tanaman cabya pada abad ke-16 tergolong dalam tanaman langka. Pemanfaatannya sempat bergeser menjadi sebatas ramuan herbal atau jamu saja.

Peralihan penggunaan bumbu pencipta rasa pedas ini juga menyisakan penyebutan menarik di masyarakat lokal. Oleh orang Sunda, kata “lada” dipakai untuk mengekspresikan sensasi pedas, bahkan ketika menyantap cabai atau makanan dengan olahan cabai. 

Ungkapan “lada pisan” diucapkan oleh orang Sunda sebagai respons yang artinya “pedas sekali”.

Sementara itu dalam bahasa Sunda, tanaman lada disebut dengan pèdès. Kata ini, serupa dengan kosakata dalam bahasa Jawa “pedhes” yang bersinonim dengan “pedas” dalam bahasa Indonesia, sebagai kata sifat untuk menyebut sensasi rasa yang dihasilkan cabai.