Pagi mereka dimulai pukul lima, tanpa banyak kata. Di balik panci-panci besar berisi masakan manis dan asin, seorang ayah dan anak bekerja dalam sunyi yang akrab. Tak banyak bicara, hanya bunyi gemericik rebusan dan aroma tajam kecap, sake, dan gula yang memenuhi udara.
Di sebuah sudut kota Tokyo yang tenang, tepatnya di Tsukuda, keluarga Kobayashi itu masih setia mempertahankan cara lama dalam membuat tsukudani — makanan tradisional Jepang yang telah ada sejak lebih dari 200 tahun lalu, jauh sebelum lemari es ditemukan.
Setiap pagi, Yoshihiro Kobayashi dan ayahnya, Nobuo, mulai merebus bahan-bahan seperti kerang, rumput laut, udang kecil, dan tuna dalam campuran manis khas Jepang. Mereka hanya bisa memasak sedikit demi sedikit, karena potongan bahan yang rapuh bisa hancur jika terlalu sering diaduk.
“Saya tidak bisa banyak bicara dengan ayah saya. Kami bekerja begitu saja,” kata Yoshihiro. Di balik nada suaranya yang datar, terselip rasa hormat yang mendalam terhadap sang ayah — dan warisan keluarga yang kini ia teruskan.
Awalnya, Yoshihiro memilih jalur berbeda. Ia pernah bekerja di dunia mode dan ritel. Namun pada akhirnya, ia kembali ke dapur tempat ayahnya mengabdi sepanjang hidup. Kini, dia menjadi penerus dari toko bernama Tsukushin, yang dulunya adalah pabrik dan kini disulap menjadi toko tsukudani yang sederhana.
Hidangan kuno dari Tsukuda
Tsukudani berasal dari kawasan Tsukuda, dan namanya pun secara harfiah berarti “dimasak di Tsukuda.” Dahulu, makanan ini dibuat untuk mengawetkan hasil laut menggunakan kecap, gula, dan sake — teknik yang terbukti ampuh sebelum manusia mengenal pendingin modern.
Kini, tsukudani sudah menjadi makanan umum di Jepang. Sebagian besar diproduksi massal di pabrik-pabrik besar. Namun keluarga Kobayashi memilih untuk bertahan dengan cara tradisional: memasak di atas tungku tanah liat kamado, lalu menyajikan dalam wadah kayu handai, seperti yang dilakukan para leluhur mereka.
Yoshihiro menyamakan tsukudani dengan selai — hanya saja versi asin dan berbasis laut. Biasanya, tsukudani disantap dengan semangkuk nasi hangat, sup miso, atau dijadikan isian bola nasi dan bekal bento. Ia juga cocok sebagai taburan untuk chazuke — nasi yang disiram teh hijau panas.
Namun, bukan berarti tsukudani cocok untuk segala hal. “Keripik kentang atau es krim tsukudani bukanlah ide bagus,” ujarnya sambil tertawa. “Kalau tidak dimakan dengan cara yang tepat, rasanya bisa aneh.”
Menjaga warisan, menyapa generasi baru
"Asli", "pendiri", "pertama dan utama", begitulah bunyi papan kayu besar yang tergantung di atap toko-toko tsukudani yang reyot.
Di balik dapur yang beraroma nostalgia itu, tersimpan misi besar: menjaga tradisi agar tak hilang ditelan zaman. Dalam Jepang yang kini dikenal dengan robot canggih dan industri global seperti Toyota dan Sony, tsukudani menjadi pengingat bahwa budaya dan rasa juga diwariskan, bukan hanya diciptakan.
Tantangannya? Mengenalkan kembali tsukudani kepada generasi muda dan juga orang asing yang mungkin belum pernah mendengarnya. Karena meski tradisi ini telah berusia dua abad, tidak semua anak muda Jepang tahu rasanya.
Noriko Kobayashi, bukan kerabat si pembuat tsukudani, adalah pemilik toko barang seni di Tokyo. Ia bilang sudah makan tsukudani sejak kecil dan kini sering menikmatinya bersama keju dan sake. “Nggak ada yang spesial,” katanya santai. Tapi kini, ia mengaku lebih menghargai khasiatnya untuk pencernaan.
“Ini semacam makanan sehat,” ujarnya.
Di tengah laju zaman yang serba cepat, keluarga Kobayashi tetap menjaga nyala api di dapur mereka — secara harfiah dan simbolis. Mereka tidak hanya memasak makanan, tetapi juga meracik ulang ingatan, rasa, dan sejarah dalam setiap potongan tsukudani yang tersaji di atas nasi hangat.(dailysabah, AP)