Tren camilan tinggi protein makin hype. Benarkah sehat atau sekadar gimmick? Simak ulasan ahli soal protein dan risiko makanan ultraprocessed.
Influencer yang hobinya menguliahi kita untuk makan lebih banyak protein kian marak di media sosial. Mereka berbagi tips menambah asupan makronutrien ini sambil menenggak makanan ultraprocessed penuh protein—mulai dari mac and cheese instan berlabel “tinggi protein” hingga beragam jenis cereal.
Ada banyak video yang menunjukkan para pesohor media sosial membandingkan kelebihan dan kekurangan protein bar, sampai menyarankan mengganti dessert dengan biskuit protein dalam kemasan.
Bukan hanya influencer yang menjual hype ini. Selebritas juga meluncurkan snack ultraprocessed dengan tambahan protein, sementara rak-rak supermarket dipenuhi mulai dari keripik kentang protein hingga waffle beku berprotein tinggi. Di Amerika Serikat, misalnya, bintang reality show Khloe Kardashian baru-baru ini meluncurkan produk popcorn berprotein tinggi.
“Protein sedang jadi primadona saat ini. Protein memang penting, tapi jangan dijadikan asupan utama untuk kesehatan. Cookie (kue) tetaplah cookie, meski diberi tambahan tiga gram protein,” kata Brian St. Pierre, direktur nutrisi performa di Precision Nutrition, seperti dikutip dari National Geography, Kamis (21/8).
Data mendukung hal ini: dalam laporan 2025 National Restaurant Association, “protein praktis” masuk 10 besar tren makro. Bahkan studi tahun 2024 menemukan tiga perempat responden pernah mengonsumsi makanan olahan tinggi protein.
Tidak bisa dipungkiri, protein memang pantas mendapat sorotan. Makronutrien ini terbukti membantu membangun dan menjaga otot, mendukung penurunan berat badan, sekaligus menopang banyak fungsi tubuh penting lainnya.