close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Bintang reality show Khloe Kardhasian tampil di iklan popcorn miliknya. /Foto dok. Khloud Foods
icon caption
Bintang reality show Khloe Kardhasian tampil di iklan popcorn miliknya. /Foto dok. Khloud Foods
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 21 Agustus 2025 15:00

Demam protein: Seberapa banyak yang sebenarnya dibutuhkan tubuh kita?

Tren camilan tinggi protein makin hype. Benarkah sehat atau sekadar gimmick? Simak ulasan ahli soal protein dan risiko makanan ultraprocessed.
swipe

Influencer yang hobinya menguliahi kita untuk makan lebih banyak protein kian marak di media sosial. Mereka berbagi tips menambah asupan makronutrien ini sambil menenggak makanan ultraprocessed penuh protein—mulai dari mac and cheese instan berlabel “tinggi protein” hingga beragam jenis cereal

Ada banyak video yang menunjukkan para pesohor media sosial membandingkan kelebihan dan kekurangan protein bar, sampai menyarankan mengganti dessert dengan biskuit protein dalam kemasan. 

Bukan hanya influencer yang menjual hype ini. Selebritas juga meluncurkan snack ultraprocessed dengan tambahan protein, sementara rak-rak supermarket dipenuhi mulai dari keripik kentang protein hingga waffle beku berprotein tinggi. Di Amerika Serikat, misalnya, bintang reality show Khloe Kardashian baru-baru ini meluncurkan produk popcorn berprotein tinggi. 
 
“Protein sedang jadi primadona saat ini. Protein memang penting, tapi jangan dijadikan asupan utama untuk kesehatan. Cookie (kue) tetaplah cookie, meski diberi tambahan tiga gram protein,” kata Brian St. Pierre, direktur nutrisi performa di Precision Nutrition, seperti dikutip dari National Geography, Kamis (21/8). 

Data mendukung hal ini: dalam laporan 2025 National Restaurant Association, “protein praktis” masuk 10 besar tren makro. Bahkan studi tahun 2024 menemukan tiga perempat responden pernah mengonsumsi makanan olahan tinggi protein.

Tidak bisa dipungkiri, protein memang pantas mendapat sorotan. Makronutrien ini terbukti membantu membangun dan menjaga otot, mendukung penurunan berat badan, sekaligus menopang banyak fungsi tubuh penting lainnya. 

Tetapi, ada perbedaan besar antara pola makan seimbang—dengan daging tanpa lemak seperti ayam atau ikan, serta sumber sehat lain seperti kedelai—dengan pola makan yang dijejali snack ultraprocessed yang sedang viral di media sosial.

“Aku pikir perhatian ekstra ke protein ini memang wajar,” kata Marily Oppezzo, Kepala Nutrisi Kedokteran Gaya Hidup dan Perubahan Perilaku di Stanford Prevention Research Center. Menurutnya, pedoman resmi terlalu rendah selama ini karena diukur dengan metode lama. “Dulu basisnya hanya untuk bertahan hidup, bukan untuk benar-benar bisa thrive,” ujarnya.

Berapa asupan yang tepat? 

Tetapi, hype ini juga melahirkan tumpukan misinformasi, terutama soal berapa banyak protein yang sebenarnya kita butuhkan per hari. Rekomendasi resmi saat ini adalah 0,8 gram per kilogram berat badan. Menurut Oppezzo, angka itu terlalu rendah. 

“Itu level minimum, bukan level optimal untuk pertumbuhan atau pemeliharaan otot,” jelasnya. Baginya, 1,2 gram adalah batas bawah yang sehat, sementara 1,6 gram adalah titik manisnya. 

St. Pierre menambahkan, “Riset terbaru menunjukkan orang akan lebih baik di angka 1,2 gram. Kalau rutin olahraga berat, target yang lebih masuk akal adalah 1,6 sampai 2,2 gram.”

Asupan di atas 2,2 gram belum terbukti memberi manfaat tambahan, bahkan untuk binaragawan sekalipun. Tubuh kita memang tidak punya “gudang” untuk menyimpan protein—berbeda dengan lemak dan karbohidrat.

Kekurangan asupan protein bisa membuat tubuh mengambilnya dari otot, yang dalam jangka panjang menyebabkan sarcopenia (kehilangan massa otot karena usia) atau osteopenia (penurunan kepadatan tulang).

Protein juga membantu mengatur nafsu makan, membuat kita kenyang lebih lama dengan kalori lebih sedikit—faktor penting untuk menjaga berat badan.

Oppezzo mengingatkan fokus berlebihan pada protein bisa membuat orang makin melupakan asupan buah, sayur, dan biji-bijian kaya serat. “Kebanyakan orang jadi terlalu terobsesi protein, padahal itu bisa menggusur makanan lain yang juga penting,” katanya.

Lantas, kenapa tren makanan berprotein tinggi versi ultraprocessed makin meledak? Salah satu jawabannya adalah kalangan perempuan.

Menurut Oppezzo, semakin banyak perempuan kini sadar pentingnya massa otot. Sebuah ulasan di Sports Medicine and Health Science tahun 2025 menemukan semakin banyak perempuan yang mulai rutin latihan beban.

 “Kalau memang mau asupan protein, ada cara yang lebih baik mendapatkannya,” kata Oppezo. Ia juga mengkritik “halo effect” seputar protein: seolah apa pun yang berlabel tinggi protein pasti sehat. 

Ultraprocessed food sendiri tidak otomatis “buruk” dan tidak harus dihapus total dari diet. St. Pierre menyarankan batas aman: maksimal 20–30% kalori harian. Kalau biasanya seminggu sekali makan pizza beku, lalu menggantinya dengan versi “tinggi protein”, mungkin itu sedikit membantu—tapi tidak mengubah banyak.

Ilustrasi camilan berprotein tinggi. /Foto Pixabay

Bisa berbahaya 

Namun, obsesi berlebihan pada protein juga bisa berdampak negatif. Walau mitos bahwa protein merusak ginjal sudah terbantahkan, bagi penderita penyakit ginjal atau pasien dialisis, asupan tinggi protein justru berbahaya. Selain itu, konsumsi berlebihan daging merah bisa meningkatkan kolesterol dan risiko serangan jantung.

Jadi, para influencer dan pakar tidak sepenuhnya salah: protein memang vital. Hanya saja, kebanyakan orang bisa mencukupi kebutuhannya dengan sedikit penyesuaian diet—tanpa harus memborong snack berlabel tinggi protein di supermarket.

“Menekankan protein dari sumber minim olahan akan membuatmu merasa lebih baik, tampil lebih baik, dan berfungsi lebih optimal, apapun targetmu,” kata St. Pierre. 

Ia menyarankan agar kita  memilih protein dari daging tanpa lemak, ikan, telur, produk kedelai, atau produk susu kaya protein—bukan sekadar makanan kemasan yang menarik di feed Instagram.

“Orang-orang selalu mencoba membuat nutrisi lebih rumit dari seharusnya. Padahal, pola makan sehat itu sederhana: makan protein tanpa lemak, banyak buah dan sayur, sedikit biji-bijian utuh, dan lemak sehat. Dengan itu saja, posisi kita sudah cukup baik,” kata dia. 
 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan