Studi terbaru dari University of Milano-Bicocca mengungkap ghosting berdampak lebih buruk dibanding penolakan langsung. Ghosting bukan hanya menurunkan kepuasan hubungan, tapi juga meningkatkan rasa bingung, terputus dari orang lain, hingga stres berkepanjangan akibat ketiadaan penutupan.
Siapa pun yang pernah jadi korban ghosting tahu betul rasanya tidak menyenangkan ketika lawan bicara tiba-tiba hilang tanpa jejak. Tak ada pesan, tak ada penjelasan—hanya sunyi. Sejumlah penelitian sudah membuktikan bahwa ghosting menimbulkan emosi negatif.
Namun, kebanyakan riset sebelumnya bersifat retrospektif: relawan diminta mengingat pengalaman ghosting terakhir mereka, lalu menjawab pertanyaan soal perasaan yang muncul. Cara ini punya kelemahan, karena memori bisa bias—entah jadi terasa lebih buruk, atau sebaliknya sudah dilupakan.
Nah, studi baru berjudul “The Phantom Pain of Ghosting: Multi-Day Experiments Comparing the Reactions to Ghosting and Rejection” menawarkan pendekatan berbeda. Penelitian yang dipimpin Alessia Telari dari University of Milano-Bicocca, Italia ini, tidak mengandalkan ingatan, melainkan menciptakan situasi ghosting secara langsung di laboratorium sosial.
"Sejak 2017, penelitian tentang ghosting mulai bermunculan dengan fokus pada penyebab maupun dampaknya. Kesimpulannya konsisten: ghosting merugikan secara emosional," kata Telari seperti dikutip dalam dokumen riset yang dipublikasikan di jurnal Computers in Human Behavior, belum lama ini.
Menurut Telari, fenomena ghosting ternyata tidak hanya muncul di ranah asmara. Ia bisa terjadi dalam berbagai relasi antarmanusia: pertemanan, bahkan hubungan profesional. Data menunjukkan, 28,5–47 persen orang pernah mengalami ghosting dalam konteks romantis. Dalam lingkar pertemanan, angkanya tidak kalah tinggi: sekitar 38,6 persen.