close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pasangan sedang marah./Foto Vitaly Gariev/Unsplash.com
icon caption
Ilustrasi pasangan sedang marah./Foto Vitaly Gariev/Unsplash.com
Sosial dan Gaya Hidup - Hubungan dan Percintaan
Rabu, 22 Oktober 2025 13:15

Daya rusak silent treatment

Bagaimana menghentikan sikap diam?
swipe

Pernahkah Anda merasa kesal pada seseorang, lantas memilih untuk diam dan mengabaikannya daripada berbicara? Atau mungkin Anda pernah bertengkar dengan teman atau pasangan, dan tiba-tiba mereka berhenti merespons, bahkan ketika Anda mencoba berbicara kepada mereka?

Sikap diam seperti ini adalah perilaku sosial yang umum. Banyak dari kita pernah mengalaminya, atau melakukannya tanpa sadar. Hal ini bisa terjadi dalam berbagai hubungan dengan pasangan, teman, keluarga, bahkan di tempat kerja.

Sikap ini dikenal sebagai silent treatment. Ada banyak alasan mengapa seseorang melakukan silent treatment. Menurut pendiri Anger Management Education dan penulis buku Overcoming Destructive Anger: Strategies That Work, Bernard Golden dalam Psychology Today, salah satu alasannya karena kurang kesadaran diri.

“Seseorang mungkin bingung atau kewalahan oleh perasaan mereka dan hanya ingin menunjukkan kalau mereka kesal,” kata Golden.

Alasan lainnya untuk menghindari konflik. Seseorang mungkin merasa tak cukup aman mengungkapkan apa yang mereka rasakan—karena takut terhadap perasaan, pikiran, dan perilaku sendiri atau orang lain yang mengalami konflik dengan mereka.

Lalu, keterampilan berkomunikasi yang kurang baik. “Beberapa orang merasa mereka tak punya keterampilan untuk mengekspresikan diri,” ujar Golden.

Kemudian, sebagai bentuk hukuman, membuat orang lain merasa bersalah, agar tak tampak kasar pada orang lain, dan untuk menghindari tanggung jawab.

Psikolog Mark Travers dalam Psychology Today menyebut, bagi banyak orang, taktik ini dipelajari sejak usia sangat muda. “Semasa kecil, mereka mungkin tumbuh besar menyaksikan salah satu orang tua mereka bersikap dingin terhadap yang lain, sampai mereka meminta maaf,” ujar Travers.

“Atau lebih parah lagi, orang tua mereka mungkin menghukum mereka dengan cara serupa, dengan menarik kasih sayang dan melarang mereka berkomunikasi.”

Akibatnya, kata Travers, pola-pola seperti ini muncul kembali dalam hubungan mereka selanjutnya di masa dewasa, biasanya tanpa disadari. “Karena ini mungkin merupakan hal pertama yang mereka pelajari tentang cara mengatasi konflik,” tulis Travers.

Lantas, apa dampaknya? Penelitian yang diterbitkan di jurnal Group Processes & Intergroup Relations pada 1998 menemukan, sikap diam dapat mengancam beberapa kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk sosial, seperti kebutuhan untuk merasa memiliki, dihargai, berdaya, dan menjalani hidup yang bermakna.

Menurut psikolog di New York-Presbyterian/Columbia University Irving Medical Center, Erin Engle, dalam New York Times, silent treatment memang menggoda karena bisa memberi rasa puas sesaat, seolah-olah kita berhasil membuat orang lain menyesal atau merasa bersalah. Namun, dia menegaskan, perilaku ini dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang merusak hubungan.

“Sebagian orang menganggap silent treatment sebagai cara yang lebih halus untuk menghadapi konflik,” ujar profesor psikiatri di New York-Presbyterian Hospital, Gail Saltz kepada New York Times.

“Tapi, sebenarnya, silent treatment sebenarnya adalah bentuk hukuman. Entah Anda mau mengakuinya atau tidak.”

Bagi orang yang menjadi sasaran, lanjut Saltz, silent treatment bisa memicu kecemasan, ketakutan, dan perasaan ditinggalkan. “Sering kali hal ini juga menimbulkan rangkaian perasaan negatif seperti keraguan diri, menyalahkan diri sendiri, dan bahkan mengkritik diri sendiri,” ujar Saltz.

Saltz mengingatkan, meski banyak dari kita pernah menggunakan silent treatment sesekali, jika pasangan sering dan terus-menerus menggunakan cara ini untuk menghadapi konflik, maka itu sudah tergolong bentuk kekerasan emosional.

Profesor psikologi di Purdue University Kipling Williams menambahkan, selain menyakitkan secara emosional, dampaknya juga terasa secara fisik. Ketika seseorang diabaikan, menurut Williams, bagian otak yang aktif sama dengan bagian yang memproses rasa sakit fisik.

“Jadi, ini bukan sekadar perasaan tidak enak,” kata Williams, dikutip dari New York Times.

“Otak benar-benar mengenalinya sebagai rasa sakit yang nyata.”

Sayangnya, menurut profesor psikologi di Ohio State University, James Wirth, belum banyak penelitian yang secara khusus membahas cara paling efektif untuk menghentikan silent treatment. “Satu-satunya saran yang benar-benar didukung penelitian adalah perilaku ini sebaiknya dihentikan,” kata dia kepada New York Times.

Williams menyarankan, jika merasa sangat marah, minta waktu jeda daripada memilih diam. Jika sudah tenang, coba berbicara langsung, ketimbang membiarkan keheningan berlangsung terlalu lama.

“Ketika suasana sudah lebih tenang, ajak pasangan untuk bersama-sama mencari cara dalam menyelesaikan konflik,” tutur Saltz kepada New York Times.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan