close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi korban ghosting. /Foto Pixabay
icon caption
Ilustrasi korban ghosting. /Foto Pixabay
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 06 September 2025 18:16

Ditolak atau di-ghosting? Mana yang lebih menyakitkan?

Studi terbaru dari University of Milano-Bicocca mengungkap ghosting berdampak lebih buruk dibanding penolakan langsung. Ghosting bukan hanya menurunkan kepuasan hubungan, tapi juga meningkatkan rasa bingung, terputus dari orang lain, hingga stres berkepanjangan akibat ketiadaan penutupan.
swipe

Siapa pun yang pernah jadi korban ghosting tahu betul rasanya tidak menyenangkan ketika lawan bicara tiba-tiba hilang tanpa jejak. Tak ada pesan, tak ada penjelasan—hanya sunyi. Sejumlah penelitian sudah membuktikan bahwa ghosting menimbulkan emosi negatif. 

Namun, kebanyakan riset sebelumnya bersifat retrospektif: relawan diminta mengingat pengalaman ghosting terakhir mereka, lalu menjawab pertanyaan soal perasaan yang muncul. Cara ini punya kelemahan, karena memori bisa bias—entah jadi terasa lebih buruk, atau sebaliknya sudah dilupakan.

Nah, studi baru berjudul “The Phantom Pain of Ghosting: Multi-Day Experiments Comparing the Reactions to Ghosting and Rejection” menawarkan pendekatan berbeda. Penelitian yang dipimpin Alessia Telari dari University of Milano-Bicocca, Italia ini, tidak mengandalkan ingatan, melainkan menciptakan situasi ghosting secara langsung di laboratorium sosial.

"Sejak 2017, penelitian tentang ghosting mulai bermunculan dengan fokus pada penyebab maupun dampaknya. Kesimpulannya konsisten: ghosting merugikan secara emosional," kata Telari seperti dikutip  dalam dokumen riset yang dipublikasikan di jurnal Computers in Human Behavior, belum lama ini.

Menurut Telari, fenomena ghosting ternyata tidak hanya muncul di ranah asmara. Ia bisa terjadi dalam berbagai relasi antarmanusia: pertemanan, bahkan hubungan profesional. Data menunjukkan, 28,5–47 persen orang pernah mengalami ghosting dalam konteks romantis. Dalam lingkar pertemanan, angkanya tidak kalah tinggi: sekitar 38,6 persen.

"Khusus di dunia aplikasi kencan, angkanya melonjak drastis. Sebuah studi menyebutkan 85 persen pengguna aplikasi kencan pernah jadi korban ghosting. Angka ini seolah menegaskan: dunia digital mempercepat sekaligus memperbanyak praktik menghilang tanpa kabar," kata dia. 

Lantas bagaimana skenario riset Telari dan kawan-kawan. Di bagian pertama eksperimen, 46 relawan diajak mengobrol via chat selama 15 menit setiap hari dengan “peserta lain”. Padahal, lawan bicara mereka sebenarnya adalah asisten peneliti. 

Pada hari keempat, ada tiga kemungkinan didesain. Pertama, kondisi ghosting, yaitu asisten mendadak berhenti membalas pesan. Kedua, kondisi penolakan, yakni asisten menyatakan tidak ingin melanjutkan percakapan, lalu berhenti membalas. Kondisi kontrol di mana percakapan berjalan normal tanpa gangguan.

Eksperimen kedua berlangsung lebih lama, sembilan hari, dengan format yang mirip. Setiap hari, relawan diminta mengisi kuesioner tentang rasa kedekatan, kepuasan relasi, emosi, serta kebutuhan psikologis mereka. Inilah kekuatan desain studi itu: alih-alih mengandalkan ingatan, peneliti bisa langsung menangkap perasaan relawan tepat ketika ghosting terjadi.

Hasilnya cukup mencolok. Baik ghosting maupun penolakan langsung menurunkan rasa kedekatan dan kepuasan relasi, sementara di kondisi kontrol, relasi antara partisipan dan asisten cenderung stabil.

Kebingungan naik signifikan di kalangan partisipan, tapi cepat mereda setelah penolakan. Tetapi, pada ghosting, rasa bingung bertahan lama. Situasi ketidakpastian itu membuat para relawan terus bertanya-tanya: “Kenapa dia menghilang?”

"Relawan merasa makin terputus dari orang lain, merasa tak terlihat, kurang kompeten, bahkan lebih antisosial. Efek ini bertahan lama pada ghosting, sementara penolakan cenderung singkat," jelas Telari. 

Lalu, mana yang lebih buruk: ghosting atau penolakan? Telari dan tim menegaskan: ghosting lebih menyakitkan. Keduanya sama-sama meninggalkan luka emosional, tapi ghosting menambah lapisan ketidakpastian yang menggerogoti perasaan jauh lebih lama. 

"Tidak adanya penutupan (closure) membuat korban ghosting terjebak dalam pertanyaan tanpa jawaban," jelas Telari. 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan