Frustrasi bukan cuma rasa kesal. Emosi ini bisa jadi sinyal penting yang mengasah fokus, ketekunan, dan kreativitas kita.
Selama kita masih hidup, selalu ada hal yang bikin kita frustasi: berat badan tak kunjung turun, antrean tak bergerak, atau WiFi yang ngadat. Dari target besar hidup sampai hal-hal sepele, frustrasi seolah jadi benang merah keseharian kita.
Psikolog menilai emosi “gatal” ini jauh lebih dari sekadar rasa kesal sesaat. Sering diremehkan dibanding kecemasan atau depresi, frustrasi ternyata menggerakkan gelombang besar di otak dan tubuh—memicu agresi, stres, bahkan merenggangkan relasi.
"Di tempat kerja, ia adalah emosi paling umum, dan riset kian menunjukkan peran sentralnya dalam cara kita belajar, beradaptasi, dan bertumbuh," kata Odilia Laceulle, psikolog dari Universitas Utrecht, Belanda, seperti dikutip dari National Geographic, Selasa (16/9).
Berbeda dengan marah—yang biasanya diarahkan ke penyebab eksternal—atau stres yang muncul karena terlalu banyak tuntutan, frustrasi adalah emosi ketika sesuatu tak berjalan sesuai perkiraan. Secara sederhana, frustasi ialah sinyal untuk mengevaluasi ulang tujuan dan cara mencapainya
Pelajaran menghadapi frustasi sebenarnya muncul sejak dini. Bayi yang belajar merangkak atau berjalan juga mengalami frustrasi. Tetapi, dorongan itu yang memotivasi mereka terus mencoba.