close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi orang frustasi. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi orang frustasi. /Foto Unsplash
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 16 September 2025 15:07

Sering frustasi? Begini cara mengubahnya jadi sumber kreativitas!

Frustrasi bukan cuma rasa kesal. Emosi ini bisa jadi sinyal penting yang mengasah fokus, ketekunan, dan kreativitas kita.
swipe

Selama kita masih hidup, selalu ada hal yang bikin kita frustasi: berat badan tak kunjung turun, antrean tak bergerak, atau WiFi yang ngadat. Dari target besar hidup sampai hal-hal sepele, frustrasi seolah jadi benang merah keseharian kita.

Psikolog menilai emosi “gatal” ini jauh lebih dari sekadar rasa kesal sesaat. Sering diremehkan dibanding kecemasan atau depresi, frustrasi ternyata menggerakkan gelombang besar di otak dan tubuh—memicu agresi, stres, bahkan merenggangkan relasi. 

"Di tempat kerja, ia adalah emosi paling umum, dan riset kian menunjukkan peran sentralnya dalam cara kita belajar, beradaptasi, dan bertumbuh," kata Odilia Laceulle, psikolog dari Universitas Utrecht, Belanda, seperti dikutip dari National Geographic, Selasa (16/9). 

Berbeda dengan marah—yang biasanya diarahkan ke penyebab eksternal—atau stres yang muncul karena terlalu banyak tuntutan, frustrasi adalah emosi ketika sesuatu tak berjalan sesuai perkiraan. Secara sederhana, frustasi ialah sinyal untuk mengevaluasi ulang tujuan dan cara mencapainya

Pelajaran menghadapi frustasi sebenarnya muncul sejak dini. Bayi yang belajar merangkak atau berjalan juga mengalami frustrasi. Tetapi, dorongan itu yang memotivasi mereka terus mencoba. 

“Saat mereka benar-benar ingin melakukan sesuatu, mereka akan berlatih dan berlatih. Tak masalah mereka agak frustrasi karena justru itu memotivasi untuk mencapai sesuatu,” kata Laceulle. 

Helena González-Gómez, profesor perilaku organisasi di NEOMA Business School, Prancis mengatakan frustrasi bisa membawa kita ke tempat yang lebih baik. Beberapa penelitian menunjukkan siswa yang gagal dalam situasi penuh frustrasi cenderung lebih tangguh memecahkan masalah di kemudian hari.

“Kalau kamu pengembang program dan benar-benar mentok, kamu akan mencari jalan keluar atau jalan pintas yang malah membuat program lebih efisien,” kata González-Gómez. “Itu menguntungkan kreativitas yang pada akhirnya membuatmu lebih sehat.”

Ketika tujuan terhalang, otak bereaksi seolah menghadapi ancaman. Amygdala memberi sinyal ke hipotalamus untuk mengaktifkan respons “fight-or-flight”, membanjiri tubuh dengan kortisol dan hormon stres lain. 

Pada saat yang sama, aktivitas di korteks prefrontal—bagian otak yang mengatur emosi dan perencanaan—cenderung menurun, membuat kita lebih impulsif dan mudah tersinggung.

Riset MRI menunjukkan rasa sakit emosional diproses otak mirip rasa sakit fisik. Dalam frustrasi, aspek pemicu utamanya adalah “pemblokiran tujuan”. Itu artinya sistem reward otak ikut berperan. 

Ketika kita gagal mendapatkan hadiah atau tujuan, dopamin menurun, sementara stres meningkatkan kortisol. Penurunan dopamin membuat kita gelisah, kehilangan motivasi, dan mudah agresif. Ledakan frustrasi berulang-ulang dalam jangka panjang bisa menurunkan imunitas, mengganggu tidur, menguras semangat, dan meningkatkan risiko burnout atau depresi.

Cara memanfaatkan frustrasi

Para pakar berbagi tips dan trik untuk menghadapi frustasi. Pertama, sadari hambatan sebagai bagian proses. Langkah pertama adalah menerima bahwa setiap upaya punya jalan terjal—dari pekerjaan, belajar keterampilan baru, hingga mengulang skill lama. Frustrasi adalah input, bukan efek samping. 

“Perubahan perilaku berarti awalnya memang terasa tak enak. Kalau tahu ini sejak awal, kita bisa punya rencana dan mengantisipasi hambatan," ujar Ayelet Fishbach, profesor ilmu perilaku dan pemasaran di University of Chicago. 

Penelitiannya menunjukkan, bahkan “mencari ketidaknyamanan” bisa memotivasi pertumbuhan diri ketika kita tahu rasa canggung itu bagian penting kemajuan.

Kedua, ubah bingkai pikir, semisal dengan memandang frustrasi bukan sebagai kegagalan, melainkan bukti tantangan di level tepat. Ujian akademik adaptif misalnya, sengaja dirancang makin sulit agar siswa berkembang—dan itu memang membuat frustrasi. “Justru itu tanda tumbuh,” kata Fishbach.

Ketiga, atur emosi sesaat. Menekan perasaan jangka panjang tak sehat, tapi riset menunjukkan menahan frustrasi dalam situasi mendesak bisa bermanfaat. Kalau terlalu frustrasi, kita tak bisa bertindak. Regulasi sementara memberi ruang kognitif untuk menyelesaikan masalah.

Keempat, curhat dengan tujuan. Tidak semua pelampiasan sama. Meledak-ledak bisa merusak hubungan, tapi membicarakannya dengan orang tepercaya bisa memulihkan perspektif.

“Itu membantu regulasi,” kata Laceulle. “Juga menaruh masalah pada konteksnya. Yang terasa besar bisa jadi terlihat lebih kecil.”

Kelima, membantu orang lain melewati frustrasi. Mendukung orang lain bukan cuma meringankan stres mereka, tapi juga bisa meningkatkan motivasi kita sendiri.

Penelitian tim González-Gómez menunjukkan efek buruk frustrasi bisa hilang saat kita melakukan “service recovery”—memperbaiki kegagalan atau frustrasi itu sendiri.


 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan