Menekan penularan Covid-19 dengan menata perilaku

Kondisi psikologis bisa menjadi kendala dalam upaya penanganan Covid-19.

Karyawan beraktivitas di gerai makanan cepat saji McDonald's, kompleks pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta, Jumat (8/5).Foto Antara/Aprillio Akbar/pras

Pandemi coronavirus baru (Covid-19) bukan hanya gejala medis belaka, tetapi gejala multidimensional. Dampak pandemi Covid-19 turut memengaruhi segi ekonomi, sosial-budaya, spiritualitas, hingga psikologis.

Psikolog Politik dari Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk mengatakan, kondisi psikologis bisa menjadi kendala dalam upaya penanganan Covid-19. Pasalnya, galau, gundah, ketakutan, depresi, stres, hingga paranoid berpotensi melahirkan perilaku yang tidak mendukung imbauan pemerintah.

“Pemerintah perlu dukungan perilaku masyarakat. Jadi, kebijakan penanganan Covid-19 objeknya manusia, subjeknya manusia, dan yang berperilaku manusia. Setiap orang perlu disiapkan untuk memiliki penataan diri sebagus mungkin. Penataan hati, penataan pikiran, penataan emosi, hingga penataan perilaku,” ujar Hamdi, dalam konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Minggu (10/5).

Penataan diri tersebut dalam konsep psikologis disebut risilien. Setiap individu harus tangguh secara fisik, ekonomi, spiritual, hingga aspek psikologisnya. Sebab, kata dia, penanganan Covid-19 titik tumpunya pada manusia.

Untuk mencapai resilient, setiap individu harus sejahtera secara psikologisnya. Masalahnya, pandemi Covid-19 telah sekonyong-konyongnya mendisrupsi berbagai lini kehidupan. Kehidupan setelah Covid-19 mereda diramalkan akan mengadopsi kondisi normal yang baru. Hal ini sangat memengaruhi aspek psikologis manusia karena dianggap sebagai ancaman.