Mengapa kebebasan berpendapat di dunia digital kerap kebablasan?

kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang digital adalah salah satu ciri menghormati HAM dalam sebuah negara demokrasi.

Ilustrasi kebebasan berpendapat di dunia digital yang kebablasan. Freepik

Hak masyarakat untuk berpendapat dijamin Pasal 28 UUD NRI 1945. Sayangnya, ungkap akademisi UIN Alauddin Makassar, Alim Syariati, rendahnya tingkat literasi digital dinilai memicu maraknya netizen kebablasan dalam berpendapat.

"Dunia digital adalah dunia kita sekarang ini. Mari mengisinya dan menjadikannya ruang yang berbudaya, tempat kita belajar dan berinteraksi, tempat anak-anak tumbuh dan berkembang, sekaligus tempat di mana kita sebagai bangsa hadir dengan bermartabat," katanya dalam diskusi Kominfo bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi, yang dikutip Senin (31/10).

Koordinator Divisi Hukum ECPAT Indonesia, Rio Hendra, menyampaikan, kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang digital adalah salah satu ciri menghormati HAM dalam sebuah negara demokrasi. Sebelum berkembangnya teknologi, hak berpendapat kerap dilontarkan melalui media massa tradisional atau analog, seperti koran dan televisi.

Dirinya mengakui, negara melindungi kebebasan berekspresi. Namun, kebebasan tersebut memiliki batas. "Kebebasan berekspresi di ruang digital memiliki batasan yang sama dengan hak-hak digital."

Rio menyebutkan, batas-batas kebebasan berekspresi di ruang digital adalah tidak boleh melanggar hak dan melukai perasaan orang lain. Lalu, dilarang membahayakan kepentingan publik, negara, dan masyarakat sertang tak menimbulkan potensi kekacauan di tengah masyarakat.