close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi orang berkirim pesan./Foto truyentranhmoi123/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi orang berkirim pesan./Foto truyentranhmoi123/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 18 September 2025 17:19

Tak membalas pesan teks, bukan berarti tak peduli

Ada beberapa faktor yang membuat orang menunda atau bahkan tak membalas pesan teks.
swipe

Membalas pesan teks kelihatannya sangat mudah, tinggal mengetik sebentar, lalu kirim. Namun, bagi sebagian orang, membalas pesan teks terasa begitu sulit. Bahkan ketika pesan itu datang dari teman dekat atau keluarga.

Ternyata, hal ini cukup umum terjadi. Menurut studi Viber, dikutip dari World Economy Forum, 31% orang mengalami stres setiap hari karena pesan teks. Sebanyak satu dari lima orang merasa kesulitan membalas pesan, dan satu dari enam orang mengabaikan semua pesan karena mereka menerima begitu banyak pesan masuk.

Studi itu menyoroti bagaimana pesan teks telah berkembang seiring waktu. “Dahulu, pesan teks hanya digunakan untuk jawaban singkat ‘ya’ atau ‘tidak’. Kini, pesan teks telah berubah menjadi sarana komunikasi yang lebih ekspresif, dipenuhi emoji dan gaya bahasa yang beragam, bahkan sering kali menghasilkan percakapan panjang yang kadang sulit ditafsirkan,” tulis World Economy Forum.

Dikutip dari Psychology Today, peneliti di University of Toronto, Mariana Bockarova mengungkap ada empat faktor yang menyebabkan membalas pesan teks terasa sulit bagi seseorang. Pertama, faktor individu.

Mengutip buku Thomas E. Brown, Attention Deficit Disorder: The Unfocused Mind in Chindren and Adults (2005), Bockarova mengatakan, proses mental yang terlibat dalam memulai, mengatur, memprioritaskan, dan menyelesaikan tugas bisa jadi sulit bagi sebagian orang.

“Bahkan ketika seseorang mungkin ingin membalas, berbagai langkah mikro yang diperlukan, seperti membuka pesan, mengingat konteksnya, merumuskan balasan, memutuskan kapan dan bagaimana mengirimkannya, bisa terasa membebani,” tulis Bockarova.

Menurut Bockarova, kesenjangan antara niat dan tindakan ini bukanlah tanda ketidakpedulian. Namun, cerminan bagaimana otak neurodivergen—otak yang berfungsi dan terhubung secara berbeda dari otak orang pada umumnya (neurotipikal), menunjukkan variasi alami dalam cara manusia memproses informasi dan berinteraksi dengan dunia—memproses tugas secara berbeda.

Kedua, mengirim pesan teks yang terasa seperti tugas. Bockarova menulis, berbeda dengan percakapan langsung atau panggilan telepon, berkirim psan bersifat asinkron—tak ada tuntutan untuk membalas seketika.

“Karena itu, membalas pesan sering terasa seperti pilihan, bukan kewajiban,” kata Bockarova.

“Adanya jeda yang secara sosial dapat diterima antara menerima dan membalas pesan mengganggu alur timbal balik alami dalam percakapan, sehingga membalas pesan menjadi sesuatu yang mudah ditunda.”

Akibatnya, berkirim pesan teks sering dianggap sebagai tugas yang bisa dikerjakan nanti, saat kita merasa punya waktu dan energi lebih. Namun, kata Bockarova, penundaan ini memicu efek zeigarnik—sebuah fenomena di mana tugas yang belum selesai justru lebih sering teringat dibandingkan yang sudah diselesaikan.

“Kita mungkin membaca pesan, bahkan sudah membalasnya dalam hati, dan berniat untuk benar-benar merespons,” tulis Bockarova.

“Tapi begitu momen urgensi emosional berlalu, pesan itu mudah terlupakan, terkubur di antara daftar tugas lain yang menumpuk, terutama saat hari mulai berakhir dan energi semakin menipis.”

Ketiga, beban kognitif dan emosional yang berlebihan. Menurut Bockarova, menyeimbangkan pekerjaan, keluarga, dan kehidupan sehari-hari membuat kapasitas kognitif dan emosional seseorang terus-menerus tertekan.

Bagi sebagian orang, terutama mereka yang bekerja di bidang pendidikan, pekerjaan sosial, layanan kesehatan, atau manajemen sumber daya manusia, tantangan itu semakin berat. Sebab, profesi-profesi tersebut menuntut kerja emosional—kemampuan mengelola perasaan diri sendiri sekaligus perasaan orang lain sebagai bagian dari pekerjaan.

Kondisi ini diperparah dengan apa yang disebut kelelahan keputusan, sebuah konsep yang dijelaskan para peneliti dalam Journal of Personality and Social Psychology (1998), merujuk pada kelelahan mental yang muncul usai seseorang membuat banyak keputusan sepanjang hari.

Selepas hari yang panjang, bahkan pesan yang hangat dari sahabat atau anggota keluarga tetap membutuhkan perhatian khusus. Seseorang perlu memutuskan nada bicara seperti apa yang tepat, seberapa banyak yang harus dibalas, apakah siap merespons dengan tulis, atau apakah mampu hadir secara emosional dalam percakapan.

“Akibatnya, kita sering kali menunda membalas pesan bukan karena tidak peduli, tetapi karena benar-benar kehabisan tenaga,” tulis Bockarova.

“Saat sumber daya mental dan emosional terkuras habis, kita mungkin merasa tak lagi memiliki apa pun untuk diberikan, bahkan dalam percakapan pribadi.”

Keempat, kelelahan sosial dan penghindaran yang ditimbulkannya. Menurut Bockarova, tuntutan untuk terus-menerus berkomunikasi, seperti menerima terlalu banyak pesan sepanjang hari, dapat memicu kelelahan sosial.

“Ini adalah kondisi ketika energi emosional terkuras akibat terlalu banyak interaksi, sehingga membuat kita merasa kewalahan dan ingin menarik diri,” tutur Bockarova.

Kelelahan semacam ini, kerap memicu siklus yang familiar. Awalnya, seseorang berniat membalas pesan, tetapi tak kunjung melakukannya. Lama-kelamaan, jarak waktu yang terlalu panjang membuat suasana menjadi canggung. Rasa canggung itu berubah menjadi rasa bersalah. Dan, rasa bersalah membuat seseorang semakin enggan untuk membalas.

Seiring waktu, pola ini berkembang menjadi kebiasaan menunda-nunda, yang disebut para peneliti dalam jurnal Annual Review of Psychology (2007) sebagai siklus penundaan.

Fenomena yang sering disebut kelelahan berkirim pesan teks itu nyata adanya. Bahkan, menurut para peneliti di jurnal Organization Science (2011), dialami oleh orang-orang yang sebenarnya ingin tetap terkoneksi, tetapi punya kapasitas terbatas untuk menjalin hubungan yang bermakna.

Pakar kerja sama tim dan inovasi sekaligus penulis buku Digital Body Language: How to Build Trus and Connection, No Matter the Distance (2021) Erica Dhawan dalam New York Times mengatakan, mengabaikan pesan sering dianggap buruk di zaman yang serba terhubung seperti sekarang. Dalam bentuk yang paling ekstrem, memutus komunikasi secara tiba-tiba dikenal sebagai ghosting—istilah yang, sejak populer dianggap sebagai dosa besar dalam komunikasi digital.

Semua orang sepakat, menghilang begitu saja tanpa kabar adalah perilaku tidak sopan. Namun, dalam konteks menunda membalas pesan, Dhawan menganggap bisa dimaklumi.

“Di masa yang penuh tekanan, ketika banyak orang terbebani tanggung jawab keluarga, stres, kesedihan, dan kecemasan, mungkin sudah saatnya kita melepaskan tuntutan lama yang mengharuskan kita terus-menerus terlibat dalam percakapan tanpa henti,” tulis Dhawan dalam New York Times.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan