Kolom

Demokrasi tontonan dan risiko politik citra

Tantangan bagi politisi Indonesia adalah membuktikan bahwa citra yang ditampilkan selaras dengan kerja nyata.

Senin, 08 September 2025 20:26

Di media sosial, citra kerap melampaui kenyataan. Kita bisa melihatnya ketika Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dikenal dengan sapaan Kang Dedi atau diinisialkan dengan singkatan KDM usai menjadi inspektur upacara di Polda Jabar, menolak langsung turun dari podium dan kemudian memberikan sejumlah uang kepada anggota polisi senior yang tertunda kenaikan pangkatnya.

Adegan itu seketika viral dan memicu diskusi di ruang publik, padahal dari sisi protokoler tindakan tersebut agak melanggar kebiasaan. Namun yang lebih penting bukan apakah langkah itu sesuai aturan, melainkan bagaimana publik merespons sebuah tontonan yang dibingkai apik di media sosial.

Fenomena ini mengingatkan kita pada masa kampanye Pilpres 2024. Sepanjang kontestasi, figur yang bisa memadukan karakter militer dengan gesture populis (disebut dengan gaya “gemoy”) menjadi magnet paling efektif. Alih-alih bicara tegas dengan baret khas militer, Prabowo Subianto yang dua Pilpres sebelumnya tampil tegas, justru tampil joget bersama Gen Z. Tampilan yang menghibur menjadi lebih bernilai daripada retorika militeristik. Figur yang semula dipandang keras berubah menjadi ramah, karena yang penting adalah kesukaan pemilih, tidak soal ciri pribadi.

Situasi ini sebenarnya sudah lama dijelaskan para pemikir klasik. Guy Debord dalam bukunya The Society of the Spectacle (1967) sudah mengingatkan dalam masyarakat modern, citra visual lebih sering diagungkan daripada realitas. Debord menyebutnya sebagai masyarakat tontonan, di mana yang tampak sering dianggap lebih penting daripada yang sebenarnya ada. Inilah kondisi yang kini menguasai panggung politik digital kita.

Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1959) menggambarkan interaksi sosial layaknya pertunjukan teater. Di media sosial, seorang pejabat publik tampil di panggung depan dengan citra penuh kesan, sementara di panggung belakang belum tentu ia memiliki kesiapan kerja nyata. Penjelasan Goffman ini menjelaskan mengapa begitu banyak politisi yang lebih fokus mengatur penampilan daring ketimbang substansi kebijakan.

Muhammad Sufyan Abdurrahman Reporter
sat Editor

Tag Terkait

Berita Terkait