Mewaspadai Politik Sektarian

Politik sektarian memandang lawan politiknya sebagai musuh yang harus dilawan dengan segenap upaya.

Dedi Kurnia Syah P Peneliti Politik Universitas Telkom./Alinea.id

Genderang kontestasi politik dalam gelaran Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, telah ditabuh kencang. Berbagai manuver propaganda politik mengemuka di berbagai ruang publik.

Arena pertarungan menggema, riuh rendah dan akan semakin meninggi menuju hari pentasbihan pemilihan, 17 April 2019. Dalam kondisi ini, kampanye menjadi bias makna, kental seteru kepentingan, bukan lagi ajang pembelajaran politik, yang seharusnya open minded dan maslahat.

Setidaknya, ada dua hal krusial yang membayangi setiap keriuhan pesta demokrasi, yakni bertemunya politik sektarian dan komunitarian.

Politik sektarian, merujuk pada catatan James Gelvin dalam Modernity and its Discontent: On the Durability of Nationalism in the Middle East (1999), pemikiran nasionalistik yang sempit dan cenderung membenarkan apapun yang telah melekat pada identitas parsial.

Dapat dipahami dari catatan tersebut, bahwa tidak selamanya fanatisme terhadap nasionalisme –atau primordialisme dalam praktik Pilpres di Indonesia— bermakna baik, justru sebaliknya, ia adalah praktik tertutup yang dekat dengan konflik identitas. Tidak membaur, dan cenderung menolak keberagaman sebagaimana karakter ke Indonesiaan.