Pancaroba politik

Pada pancaroba politik, kondisi serba tidak mungkin dan hadirnya ketidakpastian.

Dedi Kurnia Syah P. dok. pribadi

Konstelasi politik nasional stabil berada pada suhu hangat, sejak dimulainya kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Berbulan-bulan lamanya, situasi tak pernah hening, selalu riuh dan makin mengeliat hingga kini. Dari iklim kontestasi, hingga iklim demokrasi, terus menerus mengaduk emosi publik. Kini, bertahan pada isu kebijakan, publik merespons kinerja parlemen yang disinyalir mengancam keadilan.

Sejak bergulir pemilihan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), publik telah riuh menolak terhadap tokoh yang lolos karena banyak hal terkait pelanggaran etik, integritas hingga komitmen dalam pemberantasan korupsi. Ketidakkondusifan itu berlanjut, dengan munculnya revisi Undang-undang KPK Nomor 30 tahun 2002.

Kondisi itu memaksa presiden berada pada posisi serba tidak menguntungkan, menerima tekanan publik dengan membatalkan RUU KPK, mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu), juga tidak menyutujui produk legislasi lain yang terindikasi penuh muatan politis. Atau, memenuhi tuntutan kongsi politik dari parlemen, untuk menyetujui dan satu suara dengan seluruh kepentingan parlemen.

Risiko yang dihadapi, memihak pada publik tetapi terancam ditolak oleh parlemen, atau memihak parlemen dengan ancaman publik turun ke jalan dengan lebih masif lagi. Tentu bukan kondisi yang menyenangkan, tetapi inilah momentum politik yang harus dilalui, serba tidak mungkin, dan serba berubah, pancaroba.

Koalisi yang pada helatan pilpres mendukung kubu pemerintah, kini mulai berseberangan karena perbedaan kepentingan, sementara oposisi yang berseberang dalam pilpres, kini terindikasi merapat dan menyerahkan badan. Inilah yang disebut pancaroba politik, kondisi serba tidak mungkin dan hadirnya ketidakpastian.