close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Direktur Neterra Indonesia, konsultan strategi komunikasi publik berbasis big data
icon caption
Direktur Neterra Indonesia, konsultan strategi komunikasi publik berbasis big data
Kolom
Kamis, 14 Agustus 2025 07:07

Demo di Pati dan Masalah Laten Komunikasi Publik Pemerintah

Masalahnya, di era digital, keunggulan informasi tidak lagi berada secara eksklusif di tangan pemerintah. Arus informasi yang deras dan partisipatif membuat masyarakat bisa membangun narasi tandingan hanya dalam hitungan jam.
swipe

Masalah komunikasi publik pemerintah di Indonesia semakin hari semakin menggkhawatirkan. Sejumlah pernyataan pejabat, baik di pusat maupun di daerah menjadi sasaran kritik masyarakat terutama di media sosial karena dianggap tidak berpihak pada publik. Yang terbaru, ungkapan Bupati Pati, Sadewo merespons kritik warga soal Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 250% dengan menyatakan bahwa kebijakannya tidak tidak bisa diubah bahkan jika masyarakat berdemo sekalipun.

Peryataan Sadewo kemudian viral di media sosial dan diangap “menantang” masyarakat Pati. Sontak, masyarakat merespons “tantangan” tersebut dengan mengajak warga berdemo pada 13 Agustus 2025 di depan kantor bupati. Dalam beberapa hari menjelang hari H, bantuan warga Pati dan sekitarnya berdatangan. Di media sosial juga banjir dukungan moral dari warganet menyemangati warga Pati yang hendak berdemo. 

Melihat dukungan publik yang meluas, Sadewo memberikan sejumlah klarifikasi di berbagai media terkait pernyataannya, yang menurutnya bukan diniatkan “menantang warga”. Tetapi klarifikasinya justru menambah kemarahan warga karena dianggap masih dengan nada yang tidak menunjukkan penyesalan. Sehari kemudian, atas rekomendasi Kemendagri dan Gubernur Jawa Tengah, Sadewo menyatakan permintaan maaf dan membatalkan kebijakan kenaikan PBB yang menjadi sumber permasalahan.  

Sadewo mengira dengan meminta maaf dan mencabut kebijakan kenaikan PBB akan membuat kemarahan warga mereda dan aksi protes pada 13 Agustus 2025 dibatalkan. Ternyata perkiraannya meleset. Ribuan orang tetap memadati jalan-jalan di pusat kota Pati. Mereka menuntut agar Sadewo mengundurkan diri dari jabatannya karena dianggap memperlakukan rakyat secara sewenang-wenang. Sampai dengan artikel ini ditulis, DPRD telah menyepakati Hak Angket dan membentuk Pansus pemakzulan Bupati Pati Sudewo.

Pemicu Ganda (Double Trigger)

Kemarahan warga Pati awalnya dipicu oleh kebijakan bupati menaikkan PBB sebesar 250%. Bupati dan jajarannya hanya menyampaikan bahwa kenaikan pajak tersebut digunakan sebagai penambahan Anggaran Pendapatan Bersih Daerah (APBD) untuk membangun berbagai fasilitas publik seperti infrastruktur. Mau semanis apapun diksi yang digunakan dalam menyampaikan kebijakan semacam ini di tengah situasi ekonomi masyarakat yang sedang lesu, pasti akan mengundang masalah. 

Kesalahan pertama sebagian besar pejabat pemerintah adalah menganggap komunikasi publik sama dengan menyampaikan apa yang diinginkan pemerintah kepada masyarakat. Sehingga dalam menyampaikan keinginannya tersebut, pemerintah akan menyiapkan data atau argumentasi yang dianggap meyakinkan publik untuk menerima keinginannya. 

Padahal komunikasi publik selalui dimulai dengan mendengarkan apa yang diinginkan publik. Warga Pati tentu ingin infrastruktuktur di Pati lebih baik, tetapi mereka tentu tidak ingin jika mereka yang diminta membayar kenaikan pajak. Mereka ingin melihat pemerintah kabupaten Pati melakukan segala upaya, mengembangkan inovasi dan strategi program yang jitu, atau apapun asal tidak membuat warganya susah. 

Apalagi di era digital, ekspektasi publik semakin tinggi pada pemerintah sehingga kepercayaan publik semakin sulit diberikan kepada pemerintah. Kalaupun pemerintah “terpaksa” meminta-minta dari warganya, yang diinginkan adalah sikap sebaik-baiknya.

Warga diajak dialog, mencari titik yang paling ringan dari yang memberatkan tersebut. 
Kesalahan kedua adalah menganggap kritik publik sebagai pengganggu kinerja. Protes warga Pati pada kebijakan bupati justru direspons dengan defensif karena menganggap kritik tersebut tidak menghargai otoritasnya sebagai kepala daerah. Kritik publik dianggap memberi noda pada cerita indah keberhasilan yang ingin dibangun pemerintah.

Di beberapa kasus, pemerintah menganggap sikap kritis sejumlah warga tidaklah organik dan ditunggangi oleh kepentingan lain. Tak jarang, pemerintah bersikap mengabaikan dan mengira kritik itu pada akhirnya hilang dengan sendirinya. 

Konsekuensinya, komunikasi publik pemerintah cenderung normatif dan template ketika menghadapi kritik. Jika tidak dengan mengancam, mengabaikan, atau pura-pura apresiatif tapi sebenarnya hanya basa-basi. Sehingga ketika eskalasi publik meningkat, mereka panik dan bingung bagaimana cara merespons. 

Pada kasus Pati, dua kesalahan di atas terjadi dalam waktu bersamaan dan tersebar di media sosial. Eskalasi kemarahan warga meningkat dari level kabupaten menjadi level nasional. Diskursuspun berkembang dari soal meminta Bupati Pati, Sadewo turun dari jabatannya hingga soal heroisme warga Pati yang menjadi inspirasi dan simbol perlawanan warga pada pemimpin yang sewenang-wenang. Dalam sejumlah pemberitaan bahkan disebutkan nama-nama daerah yang juga memiliki kebijakan kenaikan PBB seperti di Jombang, Jawa Timur dan Bone, Sulawesi Selatan.

Masalah Laten Komunikasi Pemerintah: Terkungkung pada Informasinya Sendiri
Meskipun kita hidup di era demokrasi dan ruang publik digital yang terbuka lebar, sebagian pejabat publik masih belum lepas dari bayang-bayang feodalisme dan pola pikir otoriter. Akibatnya, spirit kesetaraan dan partisipasi dalam komunikasi publik, sering kali hanya berhenti pada seremonial pidato atau sosialisasi program.

Kasus Pati menunjukkan dengan jelas masalah laten ini. Komunikasi publik pemerintah cenderung memposisikan dirinya sebagai sumber informasi utama, merasa paling tahu, dan hanya menganggap publik sebagai “pendukung” yang diharapkan memberi umpan balik sesuai skenario yang mereka inginkan. Kritik justru dianggap gangguan, bukan masukan.

Konsekuensinya, pemerintah sering terkungkung dalam echo chamber informasi yang mereka ciptakan sendiri. Ruang publik yang seharusnya menjadi arena bertukar gagasan justru berubah menjadi arena “siapa yang berani melawan”. Pernyataan Bupati Pati, “Bukan hanya 5.000, 50.000 yang demo juga akan saya hadapi”, adalah potret komunikasi publik yang hanya berbicara kepada dirinya sendiri, tanpa upaya mengakui atau memahami realitas warga di luar lingkaran kekuasaannya.

Masalahnya, di era digital, keunggulan informasi tidak lagi berada secara eksklusif di tangan pemerintah. Arus informasi yang deras dan partisipatif membuat masyarakat bisa membangun narasi tandingan hanya dalam hitungan jam. Ketika pemerintah tidak mau mendengar atau merespons informasi dari luar lingkarannya, ia bukan hanya kehilangan relevansi, tetapi juga berisiko tertinggal jauh dalam memahami situasi.

Kritik, masukan, dan respons warga bukan sekadar opini.  Itu semua adalah real-time feedback yang di era media sosial bisa menjadi barometer informasi dan emosi publik. Mengabaikan ini sama saja menutup telinga di tengah bisingnya suara peringatan. Dan seperti yang terjadi di Pati, saat pejabat terkungkung oleh informasi versinya sendiri, perlawanan publik bukan hanya tak terhindarkan, tapi justru semakin membesar dan menyebar.

img
Nur Imroatus S
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan