Pemadam kebakaran itu bernama aturan

Peraturan yang muncul jangan hanya dijadikan pemadam kebakaran, artinya ada masalah baru terbit aturan.

Andy R Wijaya

Dalam hubungannya dengan Negara, hukum adalah sebagai pengatur kehidupan warga. Keberadaannya selalu menjadi postulat yang dianggap sebagai kontrak sosial antar warga dalam menjamin terselenggaranya kehidupan yang tertib dan baik.

Jauh lebih dari seratus tahun yang lalu, ilmuwan hukum kenamaan dari Austria, Hans Kelsen sudah bertitah: hukum adalah sistem norma, norma-norma tersebut akan menjadi mengikat masyaraat apabila norma tersebut dikehendaki menjadi hukum dan harus dituangkan dalam wujud tertulis, dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan memuat perintah.

Tegasnya, keberadaan hukum selalu menjadi aturan di tengah masyarakat yang dibuat secara tertulis dan dikeluarkan lembaga berwenang. Kalau di Indonesia sesuai tingkatan aturannya. UUD 1945 yang berwenang mengeluarkan adalah MPR, jika Undang-Undang yang berwenang adalah presiden dan DPR, dan seterusnya, sebagaimana tertuang dalam UU No 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Aturan tersebut setidaknya dapat meneropong gejala sosial yang muncul dalam masyarakat. Keberadaanya selalu memunculkan pemantik awal akan perlunya norma yang diturunkan menjadi aturan. Misalnya dalam sebuah desa. Jika ada potensi ancaman keamanan (karena maraknya pencurian di desa lain), maka desa tersebut membuat aturan tentang sistem keamanan lingkungan (siskamling) yang dalam hal ini oleh Prof Jimly Asshiddiqie disebut hukum sebagai sarana pengendali.

Jika hukum dikatakan sebagai sarana pengendali, maka kita akan menemukan fenomena sosial di Indonesia yang aktivitasnya di luar kendali sehingga merugikan sebagian masyarakat. Hukum sebagai pengendali tersebut belum hadir, atau bisa dikatakan mengalami kekosongan hukum. Bisa terlihat dari fenomena sosial di masyarakat, yang ramai di media dan bahkan menjadi obrolan seru di warung kopi.