Reformasi kepolisian bukan hanya soal pembentukan tim atau perubahan struktur, tetapi soal perubahan relasi kuasa antara negara dan rakyat.
Presiden Prabowo Subianto, pada 7 November 2025, melantik sepuluh tokoh nasional sebagai anggota Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia. Langkah ini secara normatif tampak progresif: sebuah respon terhadap krisis kepercayaan publik terhadap institusi Polri, terutama pasca gelombang unjuk rasa besar-besaran pada Agustus 2025 yang menuntut akuntabilitas dan transparansi aparat penegak hukum.
Namun, idealisme reformasi ini segera berhadapan dengan kenyataan pahit. Hanya berselang beberapa waktu, Dewan Perwakilan Rakyat secara diam-diam dan super kilat mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang justru memperkuat, memperluas, dan melegitimasi kewenangan aparat kepolisian—bahkan hingga titik yang rawan disalahgunakan. Ini bukan sekadar ironi. Ini adalah paradoks struktural yang bisa membajak semangat reformasi sejak dari akarnya.
Antara Retorika Reformasi dan Legislasi Kontra-Reformasi
Di satu sisi, Komisi Reformasi Polri dibentuk sebagai lembaga independen untuk mengevaluasi dan menyusun strategi perbaikan sistemik di tubuh kepolisian. Presiden menekankan pentingnya kajian objektif, tajam, dan mendalam dalam membenahi institusi ini. Namun, kehadiran RKUHAP yang baru justru menyusupkan kembali—bahkan mempermanenkan—praktik-praktik hukum yang selama ini menjadi sumber ketidakpercayaan publik terhadap kepolisian.
Berikut adalah beberapa pasal bermasalah dalam RKUHAP yang memperlihatkan kecenderungan otoritarianisme prosedural: