Dari sudut pandang hukum Indonesia, praktik ini menimbulkan banyak persoalan, terutama terkait keabsahan kontrak, status anak, serta potensi komersialisasi tubuh manusia.
Buku hukum yang satu ini ditulis Prof Sonny Dewi Judiasih, Deviana Yuanitasari, dan Dr Susilowati Suparto hadir sebagai salah satu referensi penting dalam memahami persoalan rumit surrogacy. Substansinya membahas terstruktur, mulai dari latar belakang, landasan teori, hingga implikasi hukum dan sosial yang menyertai praktik sewa rahim.
Daftar isi buku ini menunjukkan keruntutan alur argumentasi. Bab awal memberikan pengantar dan teori, kemudian mengulas aspek hukum positif Indonesia yang melarang praktik sewa rahim. Selanjutnya, pembahasan diarahkan pada bentuk perjanjian surrogacy, pendapat para pemuka agama, serta kedudukan anak yang lahir dari rahim pengganti. Bagian akhir memperlihatkan konsekuensi perdata dan tanggung jawab hukum yang muncul. Dengan demikian, buku ini menyingkap kompleksitas persoalan yang tidak hanya terkait reproduksi, melainkan juga hukum, agama, dan moralitas sosial.
Definisi sewa rahim dalam buku ini merujuk pada perjanjian ketika seorang perempuan bersedia mengandung anak untuk pasangan lain, baik karena alasan medis maupun keterbatasan fisik. Kesepakatan tersebut bisa terjadi dengan atau tanpa imbalan tertentu. Namun, dari sudut pandang hukum Indonesia, praktik ini menimbulkan banyak persoalan, terutama terkait keabsahan kontrak, status anak, serta potensi komersialisasi tubuh manusia.
Menariknya, buku ini tidak hanya meninjau konteks Indonesia, tetapi juga memberikan gambaran bagaimana negara lain menanganinya. Jerman, Prancis, Italia, dan Swiss mengambil sikap tegas dengan melarang surrogacy karena dianggap bertentangan dengan martabat manusia. Di Jerman, Embryo Protection Act melarang pemindahan embrio dari satu perempuan ke perempuan lain. Prancis menegaskan perjanjian surrogacy batal demi hukum karena dianggap melanggar prinsip nonkomersialisasi tubuh. Di Italia dan Swiss, pelanggaran surrogacy bahkan bisa dikenai sanksi pidana.
Berbeda dengan itu, Inggris mengambil pendekatan kompromi. Sejak 1985 melalui Surrogacy Arrangements Act dan diperbarui pada 2008, negara ini mengizinkan praktik surrogacy secara terbatas, selama tidak bersifat komersial. Artinya, surrogacy hanya diperbolehkan jika tidak ada transaksi finansial besar yang menjadikan rahim sekadar objek bisnis.