Tren pembekuan sel telur, bagaimana prosedurnya?
Beberapa hari lalu, lewat akun Instagram-nya, penyanyi dan pemeran Selvi Isti Apriani atau yang dikenal sebagai Selvi Kitty mengumumkan tengah menjalani proses cek hasil USG. Dia juga menjalani penyuntikan obat untuk mendapatkan sel telur terbaik.
Prosedur ini dijalankan demi mengambil sel telur untuk dibekukan. Sebelumnya, aktris Luna Maya sudah melakukan pembekuan sel telur pada 2021 atau 2022—jauh sebelum menikah dengan Maxime Bouttier.
Tak hanya dilakukan selebritas di tanah air, di beberapa negara pembekuan sel telur sudah menjadi tren. Misalnya, di Korea Selatan permintaan pembekuan sel tel meningkat.
Permintaan itu, menurut VOA News, sebagian besar karena subsidi pemerintah yang menanggung sekitar setengah dari biaya pembekuan sel telur untuk perempuan berusia 20-49 tahun. Hal ini adalah salah satu upaya yang diambil Korea Selatan untuk mengatasi angka kelahiran yang menurun drastis di negara itu.
Di Amerika Serikat, menurut data Cofertility, permintaan pembekuan sel telur meningkat pesat 30% dari tahun ke tahun.
Dikutip dari New York Times, teknologi membekukan embrio sudah ada sejak 1980-an. Namun, upaya untuk mengawetkan sel telur yang belum dibuahi mendapatkan tantangan teknis dan tidak dianggap penting oleh sebagian besar ilmuwan. Kemudian pada akhir 1990-an, para peneliti di seluruh dunia menemukan cara untuk membekukan dan mencairkan sel telur tanpa merusaknya.
Awal 2000-an, dokter kesuburan di Amerika Serikat melakukan uji klinis untuk mereplikasi metode ini. Pada 2012, terdapat bukti kuat prosedur ini menghasilkan tingkat fertilisasi dan kehamilan yang serupa dengan in vitro fertilization (IVF) atau fertilisasi in vitro (IVF)—yang dikenal sebagai bayi tabung, sehingga meyakinkan American Society for Reproductive Medicine untuk tak lagi menganggapnya sekadar prosedur eksperimental.
Perempuan umumnya memiliki sekitar satu juta sel telur. Jumlah itu terus menurun seiring bertambahnya usia. Maka, cara Oocyte cryopreservation—istilah teknis pembekuan sel terus—menjadi pilihan prosedur di mana sel telur diambil, dibekukan, dan disimpan untuk digunakan di masa mendatang.
Dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal Reproductive Biomedicine Online (Januari, 2025), para peneliti dari London Women's Clinic di London menemukan, tingkat keberhasilan pembekuan sel telur sebanding dengan bayi tabung.
Mereka menemukan, tingkat kelahiran hidup secara keseluruhan per transfer embrio sebesar 26% yang bervariasi menurut usia saat sel telur dibekukan, dengan tingkat yang lebih rendah pada mereka yang berusia di atas 35 tahun, tetapi hanya 5% pada mereka yang berusia di atas 40 tahun.
Sedangkan tingkat kelahiran hidup kumulatif setelah transfer semua embrio yang dibuat dari sel telur yang dicairkan adalah 34%, meningkat menjadi 45% pada mereka yang membekukan sel telurnya sebelum usia 36 tahun.
Bukan hanya perkara biaya, perempuan yang berniat membekukan sel telurnya mesti melewati prosedur yang panjang dan melelahkan.
Proses, risiko, dan biaya
Dalam Cleveland Clinic, spesialis kesuburan endokrinologi reproduksi Jenna Rehmer menjelaskan beberapa tahap prosedur pembekuan sel telur.
Pertama, dilakukan tes darah di dokter spesialis kesuburan endokrinologi reproduksi. Lewat tes darah ini, dokter bakal menilai jumlah sel telur yang ada. Lalu dilakukan sonogram atau USG. Kedua, dilakukan suntikan hormon untuk merangsang ovarium dan mendorong banyak sel telur untuk matang.
Ketiga, sel telur akan diambil dengan jarum kecil. Terakhir, sel telur yang sudah diambil, dibekukan dengan cepat dalam proses yang disebut vitrifikasi—sel telur direndam dalam nitrogen cair untuk mencegah pembentukan kristal es yang dapat merusak.
New York Times menulis, seluruh proses ini memakan waktu sekitar dua minggu. Rata-rata dokter bisa menentukan berapa banyak sel telur yang berhasil diambil. Rata-rata pasien di bawah usia 38 tahun dapat mengambil 10 hingga 20 sel telur per siklus, tetapi jumlah ini bervariasi, tergantung pada jumlah sel telur individu dan respons ovarium terhadap pengobatan.
Setelah dilakukan vitrifikasi, menurut Jenna Rehmer dalam Cleveland Clinic, sel telur itu dapat disimpan tanpa batas waktu.
“Telur dan embrio beku pada dasarnya dapat bertahan selamanya,” ujar Rehmer.
“Namun, kebanyakan orang menggunakan telur beku mereka dalam jangka waktu tiga hingga 10 tahun.”
Bila ingin digunakan, sel telur bakal dicairkan dan kemudian dibuahi dengan sperma dari pasangan atau donor untuk menciptakan embrio, yang berkembang di laboratorium selama lima atau enam hari.
Embrio ditanamkan ke dalam rahim lewat prosedur kecil yang terasa seperti pap smuear—prosedur pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi kanker serviks. Lalu, dokter akan memasukkan spekulum lewat vagina di bawah panduan USG, menggunakan kateter berongga yang fleksibel untuk memindahkan embrio ke dalam rahim.
Biaya prosedur pembekuan sel telur bervariasi di antara klinik kesuburan. Di Amerika Serikat, secara umum, menurut direktur medis Johns Hopkins Fertility Center, Mindy Christianson dalam New York Times, biayanya sekitar 4.500-8.000 dolar AS atau setara Rp73 juta-Rp131 juta. Sementara di Indonesia, biayanya ada di kisaran Rp40 juta-Rp70 juta.
Meski begitu, pembekuan sel telur memiliki risiko. “Obat yang merangsang ovarium, misalnya, dapat meningkatkan kadar estrogen perempuan dari 10 hingga 20 kali lebih tinggi dibanding siklus menstruasi biasa,” ujar Mindy Christianson kepada New York Times.
Beberapa orang bakal mengalami perubahan suasana hati akibat kadar estrogen yang lebih tinggi dari biasanya. “Pendarahan dan infeksi adalah risiko dari pengambilan sel telur, tetapi komplikasi seperti ini jarang terjadi terjadi,” kata direktur penelitian endokrinologi reproduksi dan infertilitas di Cleveland Clinic, Elliot Richards kepada New York Times.
Direktur Program Donor Sel Telur dan Gestational Carrier di Brigham and Women’s Hospital, Rachel Ashby dalam New York Times mengatakan, beberapa orang mungkin mengalami mual dan muntah karena anestesi yang digunakan selama proses pengambilan sel telur.
Dalam kasus yang jarang terjadi, perempuan dapat mengalami sindrom hiperstimulasi ovarium parah, reaksi buruk terhadap obat hormon yang merangsang produksi sel telur. Ovarium membengkak, menyebabkan pembuluh darah kecil bocor cairan, yang dapat menumpuk di perut atau, lebih jarang terjadi, di sekitar paru-paru.
“Gejalanya termasuk kembung, mual, dan kesulitan buang air kecil dan bernapas, paling menonjol terjadi tiga hingga lima hari setelah prosedur,” tutur ahli endokrinologi reproduksi dan asisten profesor di Universitas Chicago, Amanda Adeleye di New York Times.
Walau demikian, pembekuan sel telur tak menjamin kehamilan atau melahirkan bayi hidup. Sebab, embrio dapat berkembang secara tidak normal atau tidak menempel di rahim, dan keguguran masih menjadi risiko selama kehamilan.
“Ini adalah pilihan yang sangat baik bagi banyak orang, aman, serta sering kali efektif,” kata Jenna Rehmer dalam Cleveland Clinic.
“Namun sayangnya, tidak ada cara untuk menjamin hasilnya.”


