Politik kamera di zaman Instagram

Tiap politikus mutakhir tentu saja paham kuasa visual fotografi

100 tahun yang lalu, seorang analis-politikus kiri cum novelis Semaoen (2000: 81) menulis satu peristiwa yang mustahil terjadi sekarang: “Kadiroen berdandan. Dengan pakaian palsu, ia menyamar seperti orang Arab, layaknya seorang mindring yang mengutangkan kain pelakat dan kain kebaya kepada penduduk desa. Dengan pakaian begitu, maka ia akan mendapatkan keterangan yang sebenarnya dari rakyat. Kadiroen akan mendatangi tiga atau empat desa dalam sehari di setiap onderdistrik. Dalam empat hari, pekerjaan itu akan bisa selesai.” 

Begitulah Wedono Kadiroen, dalam novel Hikayat Kadiroen (1919) karya Semaoen, menjadi pejabat yang selalu ingat keperluan rakyat di distriknya dan yang selalu bekerja untuk rakyat siang malam. Tapi dia harus menyamar saat melakukan kerja-inspeksi agar mata rakyat tidak melihatnya sebagai seorang pembesar yang menakutkan rakyat. Yang tertekan, terintimidasi, atau biasa dikibuli jarang memberikan informasi berani, jujur, dan apa adanya, yang terkadang justru bisa mencelakai mereka sendiri.

Para pejabat yang jujur dan hendak mengetahui realitas penghidupan rakyat sesungguhnya wajib menyamar, datang langsung, dan tidak boleh diketahui siapa pun, terutama orang-orang penjilat nan korup di sekelilingnya. Eksibisionisme politik itu buruk?

Warisan Erich Salomon

Kita ingat “bapak” foto jurnalisme dunia: Erich Salomon (1886-1944). Awalnya, orang Yahudi Jerman ini hanya rakyat biasa, tapi cukup kaya raya berkat warisan perusahaan keluarga. Namun, ekonomi Jerman tahun 1920-an ambruk akibat keharusan membayar sanksi Perang Dunia I. Pada usia 42 tahun, setelah gonta-ganti pekerjaan, Salomon menjadi juru kamera pemasangan iklan. Dari sini, Salomon melanjutkan kerja memotretnya terhadap apa yang disebutnya “foto human interest” kemudian dia jugalah yang mempopulerkan istilah “foto jurnalisme”. Fotonya mulai bermunculan di koran Eropa.