100 hari Jokowi-Maruf, KontraS tagih penyelesaian kasus HAM masa lalu

Upaya delegitimasi HAM juga terlihat dari usaha negara yang ingin menyelesaikan pelanggaran HAM melalui mekanisme nonyudisial.

Kepala Biro Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar dalam jumpa pers di Kantor KontraS, Jakarta Pusat, Senin (27/1). Foto Akbar Ridwan

Pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin dianggap mendelegitimasi hak asasi manusia (HAM) dalam 100 hari masa kerjanya. Salah alasan atas tudingan tersebut ialah pengangkatan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dan penunjukkan Wiranto untuk Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.

Kepala Biro Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar menilai adanya dua sosok itu di Kabinet Indonesia Maju dianggap mencederai rasa keadilan bagi korban pelanggaran HAM masa lalu sekaligus pukulan telak bagi koalisi masyarakat sipil.

"Masuknya figur-figur tersebut itu semakin memperlemah kekuatan koalisi masyarakat sipil atau korban untuk menuntut kasus (pelanggaran HAM) yang selama ini tidak juga terselesaikan," kata Rivan dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (27/1).

Rivan menambahkan, upaya delegitimasi HAM juga terlihat dari usaha negara yang ingin menyelesaikan pelanggaran HAM melalui mekanisme nonyudisial atau di luar pengadilan. Hal itu berdasarkan wacana Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang saat ini didengungkan pemerintah.

Wacana nonyudisial, merut Rivan, bertolak belakang dengan keinginan dari korban itu sendiri. Di sisi lain, kebijakan ini dituding bisa semakin memperkuat rantai impunitas.