close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Para pemohon hadir dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara nomor 130/PUU-XXIII/2025 pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (13/8). /Foto dok. MK
icon caption
Para pemohon hadir dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara nomor 130/PUU-XXIII/2025 pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (13/8). /Foto dok. MK
Peristiwa
Senin, 18 Agustus 2025 19:09

Perlukah penyakit kronis masuk kategori disabilitas?

Dua penyandang penyakit kronis mengajukan uji materi UU Penyandang Disabilitas.
swipe

Dua penyandang penyakit kronis, Raissa Fatikha dan Deanda Dewindaru mengajukan permohonan uji materi Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas) ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Permohonan perkara ini terdaftar di kepaniteraan MK dengan nomor 130/PUU-XXIII/2025. Para pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak adanya pengakuan eksplisit penyakit kronis sebagai bagian dari ragam disabilitas.

“Ketika melakukan sosialisasi mengenai layanan publik, para pemohon harus menjelaskan kondisi mereka secara rinci. Jika penyakit kronis diakui sebagai ragam disabilitas, proses ini akan lebih mudah dipahami pemangku kebijakan dan memastikan hak mereka terpenuhi,” ujar kuasa hukum para pemohon, Reza dalam sidang pendahuluan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (13/8). 

Raissa Fatikha adalah penyintas penyakit Thoracic Outlet Syndrome (TOS) selama 10 tahun. Ia mengalami nyeri berkelanjutan di tangan, pundak, dan dada kanan atas dengan intensitas yang berfluktuasi. Kondisi tersebut membatasi fungsi gerak, stamina, dan mobilitas, terutama saat flare-up. Ia aktif mengedukasi publik melalui platform Ragam Wajah Lara.

Adapun Deanda Dewindaru merupakan penyintas penyakit autoimun Guillain-Barré Syndrome, Sjögren’s Disease, dan Inflammatory Bowel Disease selama tiga tahun terakhir. Deanda mengalami kelelahan kronis dan flare-up yang membatasi stamina serta fungsi gerak. Ia aktif memberikan edukasi melalui platform Spoonie Story.

Reza mengatakan kerugian yang mereka Raissa dan Deanda bersifat nyata dan faktual. Keduanya terutama kesulitan dalam mengakses layanan publik yang menjadi hak istimewa penyandang disabilitas. Mereka meminta MK untuk memasukkan penyakit kronis sebagai salah satu ragam penyandang disabilitas dalam UU Penyandang Disabilitas.

“Pengakuan eksplisit akan mempermudah sosialisasi, memperkuat advokasi, dan menjamin hak orang dengan penyakit kronis terpenuhi secara setara,” kata Reza. 

Hakim MK Enny Nurbaningsih meminta para pemohon memperbaiki permohonan uji materi mereka. Menurut Enny, perlu ada penjelasan secara rinci terkait penyakit yang mereka derita dan argumentasi yang menunjukkan adanya kerugian hak konstitusional. MK memberikan waktu selama 14 hari untuk perbaikan. 

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar setuju para penderita penyakit kronisi dimasukan dalam kategori penyandang disabilitas yang harus diistimewakan negara. Apalagi, banyak penyandang penyakit kronis di Indonesia yang saat ini berstatus lansia dan tak didampingi keluarga. 

"Penyandang penyakit kronis harus mendapat perhatian lebih, mendapatkan pelayanan yang khusus. Ini yang memang dalam pelaksanaannya, (penanganan terhadap pasien kronis) masih dianggap sama seperti pelayanan kesehatan lainnya," kata Timboel kepada Alinea.id, Minggu (17/8).

Menurut Timboel, perlu ada regulasi yang menjamin kemudahan akses pelayanan kesehatan bagi penyandang penyakit kronis. Timboel mengaku masih sering mendapatkan laporan mengenai kasus-kasus penyandang penyakit kronis dipersulit untuk meminta rujukan dari rumah sakit tipe C ke rumah sakit tipe A. 

Ia mencontohkan para penyandang penyakit kronis yang kerap diwajibkan datang ke rumah sakit untuk meminta rujukan. "Padahal, bisa dengan video call atau komunikasi jarak jauh lainnya, tanpa harus penyandang penyakit kronis datang. Mereka sudah kesulitan untuk mondar-mandir. Apalagi, mereka yang tidak memiliki keluarga," kata Timboel. 

Tanpa digugat pun, menurut Timboel, sebenarnya pemerintah berkewajiban memberikan layanan sosial dan kesehatan bagi penyandang disabilitas miskin dan lansia. Itu seturut isi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). "Pemerintah sudah harus memiliki sebuah respon yang beda dengan kelompok masyarakat," kata Timboel. 

Jika nanti gugatan Raissa dan Deanda dikabulkan MK, Timboel menyarankan agar pemerintah segara menyusun model pelaksanaan pemenuhan kewajiban terhadap para penyandang penyakit kronis. Salah satu yang terpenting ialah memperluas akses dan ketersediaan obat-obatan serta layanan home care bagi para penyandang penyakit kronis. 

"Saya enggak ngerti kenapa pemerintah Indonesia yang sudah lebih dari 80 tahun belum bisa memberikan layanan home care dalam program JKN. Faktanya, banyak pasien lansia kita yang berangkat ke faskes saja sudah sangat sulit. Saya mendesak pemerintah mendesak home care di revisi Perpres 82 tentang JKN," kata Timboel.

Perlu dirinci

Founder Knowledge & Accessibility Rahma Utami menilai definisi disabilitas di Indonesia memang butuh diperbarui untuk mengakomodasi jenis "disabilitas" lainnya, termasuk menyikapi kelompok penyandang penyakit kronis. 

"Sampai dengan kondisi tertentu, beberapa individu memang mengalami keterbatasan, dan ada yang sifatnya permanen (tidak berubah, tidak bisa dikoreksi), dan ada yang bersifat temporer (kambuhan/tidak diketahui). Untuk itu, penting memiliki definisi dengan rujukan yang lebih merinci," kata Rahma kepada Alinea.id, Senin (18/8). 

Menurut Rahma, jenis penyakit kronis perlu dirinci sebelum dikategorikan sebagai disabilitas. "Seperti yang diungkapkan hakim Enny di persidangan, 'Kalau punya diabetes melitus apakah otomatis menjadi disabilitas?' Belum tentu. Tetapi, komplikasi diabetes yang menjadi kebutaan memang membuat orang tersebut menjadi penyandang disabilitas netra," jelas Rahma. 

Selain itu, Rahma mengusulkan agar ada sigi kuantitatif untuk melihat seperti apa kondisi penyandang penyakit kronis. Dengan begitu, pemerintah bisa menyiapkan kebutuhan medis dasar dan akomodasi yang dibutukan para penyandang penyakit kronis.

"Ditambah dengan perspektif IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Jadi, bisa ditetapkan parameter pengukuran kapan seseorang dengan penyakit kronis sekadar sakit saja, dan kapan bisa dikategorikan sebagai disabilitas. Jadi, apa yang diperhatikan adalah penambahan kategori baru (disabilitas penyakit kronis) atau pembuatan istilah baru," kata dia. 
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan